Sabtu, 21 Agustus 2010
Dokter Bedah Berbaju Hijau?
Pernahkah terpikir mengapa dokter ahli bedah menggunakan jubah atau baju berwarna hijau ketika sedang melakukan tugasnya? setalah mencari-cari di berbagai macam sumber, akhirnya sedikit menemukan jawababan mengapa para dokter bedah berbaju hijau. dan ternyata alasan mengapa para dokter bedah berbaju hijau itu tidak hanya satu alasan saja sedikitnya ada 3 alasan. apa saja itu?
Semula memang yang digunakan adalah warna putih yang melambangkan kebersihan. Namun, seorang dokter berpengaruh menggantinya dengan warna hijau karena menurut dia warna hijau lebih nyaman di mata. Walaupu sulit dikonfirmasi mengapa warna hijau jadi populer karena alasan ini, hijau memang cocok bagi dokter untuk melihat lebih baik di ruang pembedahan, karena hijau adalah lawan dari warna merah dalam roda warna.
Menurut seorang ahli psikologi, melihat pada warna hijau dapat menyegarkan mata ahli bedah dalam melihat benda-benda bewarna merah, termasuk organ-organ tubuh yang berlumuran darah saat pembedahan. Melihat warna merah terus meneruts menyebabkan sinyal warna merah di otak memudar sensifitasnya terhadap variasi warna merah.
Alasan lainnya adalah, terus-menerus berfokus pada warna merah akan menyebabkan ilusi nofa berwarna hijau pada latar warna berwarna terang atau putih. Ini akan menggangu penglihatan dokter. Jika warna baju ahli bedah berwarna hijau, ilusi ini akan memudar dan tidak akan mengganggu penglihatan dokter.
Sumber: kaskus , dengan sedikit editing oleh: Yos beda
Sumber :
http://infoaja.com/dokter-bedah-berbaju-hijau
20 Februari 2010
Sumber Gambar:
http://www.accoladesurgical.com/sitebuildercontent/sitebuilderpictures/bhsurgicalpicturessurgeon002.jpg
Penderita epilepsi tersebar di seluruh provinsi dan terbanyak di Jabodetabek.
Pernah menyaksikan seseorang yang tanpa sebab tiba-tiba kejang, terjatuh dengan mulut kadang mengeluarkan busa? Kejang yang terjadi pada seseorang yang bukan disebabkan oleh alkohol dan tekanan darah yang sangat rendah dikenal dengan istilah epilepsi. Penyakit yang sering disebut ayan ini, adalah penyakit saraf menahun yang serangannya mendadak dan berulang-ulang.
Pada penderita ayan, fungsi koordinasi otak dalam mengirimkan sinyal perintahnya kadang tidak berjalan dengan baik. Kondisi inilah yang menyebabkan seseorang tiba-tiba kejang. Penyebab epilepsi bisa karena berbagai unsur. Seperti trauma kepala, tumor otak, kerusakan otak saat proses kelahiran, luka kepala, pitam otak
(strok), atau alkohol. Ayan bukan penyakit turunan namun kadang-kadang, ayan bisa disebabkan karena faktor genetika. Untuk mendeteksi gambaran dalam tubuh dan otak seseorang penderita epilepsi, kini dikenal alat yakni Magnetic Resonance Imaging (MRI). Selain itu, bisa juga dites dengan elec-troencephalography (EEG), yakni alat untuk memeriksa gelombang otak.
Bagian bedah saraf RS Dr Kariadi Semarang, Jawa Tengah mencatat, angka prevalensi orang dengan epilepsi (ODE) di Indonesia saat ini, sekitar 0,5 hingga 0,6 persen atau diperkirakan ada 1,5 juta ODE. Ahli bedah saraf, Prof Dr Zainal Muttaqien menjelaskan, bagi ODE dan keluarganya, epilepsi bukan semata persoalan kejang. "Tapi epilepsi adalah rangkaian persoalan medis, psikologis, sosial dan ekonomi yang saling terkait, dan muncul sebagai rasa takut, kesalah-fahaman, stigma sosial, dan diskriminasi yang membawa ODE dan keluarganya hidup dalam dunia yang tertutup," ujar Zainal, dalam penjelasannya soal "Bedah Saraf Terhadap Penderita Epilepsi", beberapa waktu lalu.
Langkah terapi Bagi ODE, pemberian obat untuk mengatasi kejang merupakan salah satu pilihan terapi. Namun, semua obat harus dikonsultasikan terlebih dahulu ke dokter. Selain dengan obat anti epilespi (OAE). Diet khusus juga bisa mengendalikan epilepsi. Menurut Zainal, dengan pemakaian OAE moderen, saat ini sekitar 30 hingga 40 persen penyandang epilepsi tetap saja mengalami serangan kejang (refrakter). Menurutnya, kondisi ini akan berpengaruh buruk pada kapasitas kognisi, mengganggu hubungan sosial, dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup.
Penderita Epilepsi Lobus Temporalis (ELT), yang dulu disebut epilepsi psiko-motor, merupakan bentuk epilepsi yang paling banyak diderita. ELT inilah yang paling sering kebal terhadap obat atau refrakter.
Dengan banyaknya jenis obat baru saat ini, tidak mungkin mencobakan semuanya satu per satu kepada penderita. Pengobatan dianggap gagal dan penderita dinyatakan refrakter, jika dua obat baku dicobakan dengan dosis pengobatan tunggal maupun kombinasi, namun serangan kejang tetap terjadi. "Selain itu, bila MRI memperlihatkan kelainan di lobus temporalis, maka kemungkinan untuk bebas kejang dengan obat (OAE) hanya 16 persen," kata Zainal.
Di antara ODE di Indonesia, sebanyak 440.000 orang akan menjadi refrakter. Zainal mengatakan, sekitar separuhnya atau 220.000.ODE akan membaik bila dilakukan terapi Bedah Epilepsi
Saat ini, kata Zainal, RS Dr Kariadi telah banyak melakukan tindakan bedah jenis ELT. Program bedah epilepsi di rumahsakit ini, mengalami kemajuan selama sepuluh tahun ini untuk menjadi Pusat Rujukan Nasional Bedah Epilepsi.
Dari yang ditangani tim bedah saraf, terbukti penanganan bedah pada ELT memberikan hasil bebas kejang pada 65 persen pasiennya dan sembuh sebanyak 21 persen. Sedangkan pengobatan dengan OAE yang sebaik apa pun hanya mencapai hasil bebas kejang sebanyak 8 persen. "Dari ODE refrakter yang dirujuk ke RS Kariadi untuk bedah epilepsi, 80 persen memperlihatkan adanya kelainan di lobus temporalis, khususnya di hippocampus," ujar Zainal.
Bedah epilepsi diawali dengan pemeriksaan pra-bedah. Pemeriksaan itu ditujukan untuk memastikan sisilobus temporalis yang epileptik atau yang menjadi fokus epilepsi. Dari pengalamannya, pemeriksaan MRI otak dan EEG cukup untuk memastikan sisi epileptik yang harus dioperasi Menurutnya, hampir 8(1 persen kasus dilakukan pembedahan dan hanya 20 persen perlu pemeriksaan penunjang.
Jadi tidak benar kahui bedah epilepsi hanya bisa dimulai setelah kita memiliki semua fasilitas diagnostik yang canggih seperti di negara maju," ujarnya.
Sejak bedah epilepsi pertama dilakukan Juli 1999 sampai Desember 2009, jumlah pasien bedah sebanyak 238 ODE refraktfeE Dan jumlah itu, kasus ELT sebanyak 212 kasus. Sementara dalam perkembangannya, jumlah ODE yang dioperasi tenis meningkat sekitar 35 hingga 47 orang per tahun.
Zainai mengatakan, bedah epilepsi bukan pilihan terakhir bila semua bentuk pengobatan lain telah gagal. "Ada pilihan terbaik untuk jenis-jenis epilepsi tertentu guna mencegah keadaan refrakter yang bisa merusak masa depan," jelas Zainal.
Hasil terbaik bedah epilepsi ini diper-leh pada kasus ELT yang foto MRI nya memperlihatkan adanya kelainan pada satu hippokampusnya. Angka bebaskejang pada kasus ini mencapai lebih dari 90 persen. Karena itu. tindakan bedah epilepsi dianjurkan lebih awal sebelum kondisi refrakter terjadi.
Para ODE refrakter, datang dari hampir seluruh propinsi di tanah air. Tapi kelompok paling banyak, berasal dari wilayah Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek) sekitar 30 persen. Penderita kebanyakan adalah orang-orang berpendidikan seperti SMU (55 persen) tertinggal pendidikan (25 persen), dan sisanya perguruan tinggi.
Fakta tersebut, kata Zainal membuktikan bahwa anggapan penyandang epilepsi tidak atau kurang berpendidikan adalah tidak benar. "Bagi ODE yang cukup berpendidikan, bebas dari serangan kejang setelah pembedahan benar-benarmerupakan hidup baru dan kesempatan untuk berkarir yang bebas dari diskriminasi," ujar Zainal.
Semakin muda usia ODE (kurang dari 25 tahun) yang dibedah, angka bebas kejang lebih tinggi (75,4 persen) dibanding di atas 25 tahun. Sedangkan yang lama sakitnya kurang dari 10 tahun, lebih tinggi angka bebasnya daripada yang di atas 10 tahun (78,72 persen).
Sementara itu, dari 50 juta ODE di seluruh dunia, 90 persen berada di negara-negara berkembang dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Ironisnyan hanya 26 dari 142 negara berkembang yang sudah memiliki program bedah epilepsi. Evaluasi yang sudah dilakukan di India dan Thailand, serta di Indonesia (Semarang) membuktikan bahwa program bedah epilepsi bisa mencapai hasil yang amat baik meskipun dilakukan di negara-negara dengan sumber daya yang terbatas.
"Tidak adanya fasilitas bedah epilepsi menjadi alasan utama kurangnya pemahaman di kalangan tenaga medik, bahkan para dokter, tentang manfaat bedah epilepsi. Kurangnya pengertian serta tidak adanya kesempatan untuk secara langsung bertemu dengan ODE pasca-bedah menimbulkan rasa khawatir dan rasa takut yang berlebihan tentang operasi epilepsi. Hal ini akan berujung pada keengganan untuk merujuk ODE refrakter," tandas Zainal.
Mengingat banyaknya ODE refraksi yang berpeluang sembuh melalui bedah epilepsi, Zainal mengatakan, perlu dibentuk pusat-pusat pelayanan kesehatan rujukan yang mampu memberikan pelayanan ini. Untuk pulau Jawa saja, kata Zainal, setidaknya dibutuhkan lima pusat pelayanan. Sedangkan setiap pulau besar, dibutuhkan juga satu pusat pelayanan.
Sedangkan perangkat yang dibutuhkan adalah rumah sakit dengan fasilitas pelayanan Bedah Saraf Mikro (Micro-neurosurgery). Tentu saja dibutuhkan tenaga spesialis bedah saraf terlatih untuk melaksanakan operasi epilepsi.
Sumber :
Dewi Mardlani
Republika, dalam :
http://bataviase.co.id/node/175331
19 April 2010
Pernah menyaksikan seseorang yang tanpa sebab tiba-tiba kejang, terjatuh dengan mulut kadang mengeluarkan busa? Kejang yang terjadi pada seseorang yang bukan disebabkan oleh alkohol dan tekanan darah yang sangat rendah dikenal dengan istilah epilepsi. Penyakit yang sering disebut ayan ini, adalah penyakit saraf menahun yang serangannya mendadak dan berulang-ulang.
Pada penderita ayan, fungsi koordinasi otak dalam mengirimkan sinyal perintahnya kadang tidak berjalan dengan baik. Kondisi inilah yang menyebabkan seseorang tiba-tiba kejang. Penyebab epilepsi bisa karena berbagai unsur. Seperti trauma kepala, tumor otak, kerusakan otak saat proses kelahiran, luka kepala, pitam otak
(strok), atau alkohol. Ayan bukan penyakit turunan namun kadang-kadang, ayan bisa disebabkan karena faktor genetika. Untuk mendeteksi gambaran dalam tubuh dan otak seseorang penderita epilepsi, kini dikenal alat yakni Magnetic Resonance Imaging (MRI). Selain itu, bisa juga dites dengan elec-troencephalography (EEG), yakni alat untuk memeriksa gelombang otak.
Bagian bedah saraf RS Dr Kariadi Semarang, Jawa Tengah mencatat, angka prevalensi orang dengan epilepsi (ODE) di Indonesia saat ini, sekitar 0,5 hingga 0,6 persen atau diperkirakan ada 1,5 juta ODE. Ahli bedah saraf, Prof Dr Zainal Muttaqien menjelaskan, bagi ODE dan keluarganya, epilepsi bukan semata persoalan kejang. "Tapi epilepsi adalah rangkaian persoalan medis, psikologis, sosial dan ekonomi yang saling terkait, dan muncul sebagai rasa takut, kesalah-fahaman, stigma sosial, dan diskriminasi yang membawa ODE dan keluarganya hidup dalam dunia yang tertutup," ujar Zainal, dalam penjelasannya soal "Bedah Saraf Terhadap Penderita Epilepsi", beberapa waktu lalu.
Langkah terapi Bagi ODE, pemberian obat untuk mengatasi kejang merupakan salah satu pilihan terapi. Namun, semua obat harus dikonsultasikan terlebih dahulu ke dokter. Selain dengan obat anti epilespi (OAE). Diet khusus juga bisa mengendalikan epilepsi. Menurut Zainal, dengan pemakaian OAE moderen, saat ini sekitar 30 hingga 40 persen penyandang epilepsi tetap saja mengalami serangan kejang (refrakter). Menurutnya, kondisi ini akan berpengaruh buruk pada kapasitas kognisi, mengganggu hubungan sosial, dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup.
Penderita Epilepsi Lobus Temporalis (ELT), yang dulu disebut epilepsi psiko-motor, merupakan bentuk epilepsi yang paling banyak diderita. ELT inilah yang paling sering kebal terhadap obat atau refrakter.
Dengan banyaknya jenis obat baru saat ini, tidak mungkin mencobakan semuanya satu per satu kepada penderita. Pengobatan dianggap gagal dan penderita dinyatakan refrakter, jika dua obat baku dicobakan dengan dosis pengobatan tunggal maupun kombinasi, namun serangan kejang tetap terjadi. "Selain itu, bila MRI memperlihatkan kelainan di lobus temporalis, maka kemungkinan untuk bebas kejang dengan obat (OAE) hanya 16 persen," kata Zainal.
Di antara ODE di Indonesia, sebanyak 440.000 orang akan menjadi refrakter. Zainal mengatakan, sekitar separuhnya atau 220.000.ODE akan membaik bila dilakukan terapi Bedah Epilepsi
Saat ini, kata Zainal, RS Dr Kariadi telah banyak melakukan tindakan bedah jenis ELT. Program bedah epilepsi di rumahsakit ini, mengalami kemajuan selama sepuluh tahun ini untuk menjadi Pusat Rujukan Nasional Bedah Epilepsi.
Dari yang ditangani tim bedah saraf, terbukti penanganan bedah pada ELT memberikan hasil bebas kejang pada 65 persen pasiennya dan sembuh sebanyak 21 persen. Sedangkan pengobatan dengan OAE yang sebaik apa pun hanya mencapai hasil bebas kejang sebanyak 8 persen. "Dari ODE refrakter yang dirujuk ke RS Kariadi untuk bedah epilepsi, 80 persen memperlihatkan adanya kelainan di lobus temporalis, khususnya di hippocampus," ujar Zainal.
Bedah epilepsi diawali dengan pemeriksaan pra-bedah. Pemeriksaan itu ditujukan untuk memastikan sisilobus temporalis yang epileptik atau yang menjadi fokus epilepsi. Dari pengalamannya, pemeriksaan MRI otak dan EEG cukup untuk memastikan sisi epileptik yang harus dioperasi Menurutnya, hampir 8(1 persen kasus dilakukan pembedahan dan hanya 20 persen perlu pemeriksaan penunjang.
Jadi tidak benar kahui bedah epilepsi hanya bisa dimulai setelah kita memiliki semua fasilitas diagnostik yang canggih seperti di negara maju," ujarnya.
Sejak bedah epilepsi pertama dilakukan Juli 1999 sampai Desember 2009, jumlah pasien bedah sebanyak 238 ODE refraktfeE Dan jumlah itu, kasus ELT sebanyak 212 kasus. Sementara dalam perkembangannya, jumlah ODE yang dioperasi tenis meningkat sekitar 35 hingga 47 orang per tahun.
Zainai mengatakan, bedah epilepsi bukan pilihan terakhir bila semua bentuk pengobatan lain telah gagal. "Ada pilihan terbaik untuk jenis-jenis epilepsi tertentu guna mencegah keadaan refrakter yang bisa merusak masa depan," jelas Zainal.
Hasil terbaik bedah epilepsi ini diper-leh pada kasus ELT yang foto MRI nya memperlihatkan adanya kelainan pada satu hippokampusnya. Angka bebaskejang pada kasus ini mencapai lebih dari 90 persen. Karena itu. tindakan bedah epilepsi dianjurkan lebih awal sebelum kondisi refrakter terjadi.
Para ODE refrakter, datang dari hampir seluruh propinsi di tanah air. Tapi kelompok paling banyak, berasal dari wilayah Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek) sekitar 30 persen. Penderita kebanyakan adalah orang-orang berpendidikan seperti SMU (55 persen) tertinggal pendidikan (25 persen), dan sisanya perguruan tinggi.
Fakta tersebut, kata Zainal membuktikan bahwa anggapan penyandang epilepsi tidak atau kurang berpendidikan adalah tidak benar. "Bagi ODE yang cukup berpendidikan, bebas dari serangan kejang setelah pembedahan benar-benarmerupakan hidup baru dan kesempatan untuk berkarir yang bebas dari diskriminasi," ujar Zainal.
Semakin muda usia ODE (kurang dari 25 tahun) yang dibedah, angka bebas kejang lebih tinggi (75,4 persen) dibanding di atas 25 tahun. Sedangkan yang lama sakitnya kurang dari 10 tahun, lebih tinggi angka bebasnya daripada yang di atas 10 tahun (78,72 persen).
Sementara itu, dari 50 juta ODE di seluruh dunia, 90 persen berada di negara-negara berkembang dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Ironisnyan hanya 26 dari 142 negara berkembang yang sudah memiliki program bedah epilepsi. Evaluasi yang sudah dilakukan di India dan Thailand, serta di Indonesia (Semarang) membuktikan bahwa program bedah epilepsi bisa mencapai hasil yang amat baik meskipun dilakukan di negara-negara dengan sumber daya yang terbatas.
"Tidak adanya fasilitas bedah epilepsi menjadi alasan utama kurangnya pemahaman di kalangan tenaga medik, bahkan para dokter, tentang manfaat bedah epilepsi. Kurangnya pengertian serta tidak adanya kesempatan untuk secara langsung bertemu dengan ODE pasca-bedah menimbulkan rasa khawatir dan rasa takut yang berlebihan tentang operasi epilepsi. Hal ini akan berujung pada keengganan untuk merujuk ODE refrakter," tandas Zainal.
Mengingat banyaknya ODE refraksi yang berpeluang sembuh melalui bedah epilepsi, Zainal mengatakan, perlu dibentuk pusat-pusat pelayanan kesehatan rujukan yang mampu memberikan pelayanan ini. Untuk pulau Jawa saja, kata Zainal, setidaknya dibutuhkan lima pusat pelayanan. Sedangkan setiap pulau besar, dibutuhkan juga satu pusat pelayanan.
Sedangkan perangkat yang dibutuhkan adalah rumah sakit dengan fasilitas pelayanan Bedah Saraf Mikro (Micro-neurosurgery). Tentu saja dibutuhkan tenaga spesialis bedah saraf terlatih untuk melaksanakan operasi epilepsi.
Sumber :
Dewi Mardlani
Republika, dalam :
http://bataviase.co.id/node/175331
19 April 2010
BIAR: "Mengenal Kamar Bedah"
Program Berbagi Ilmu Antar Relawan (BIAR) kembali diselenggarakan bagi para relawan MER-C pada awal bulan November (1/11) lalu. Dengan mengambil tema “Mengenal Kamar Bedah”, teman-teman relawan diajak untuk lebih mengenal apa dan bagaimana situasi kamar bedah pada saat terjadinya bencana. Jumlah relawan yang mengikuti program ini sekitar 23 orang yang terdiri dari relawan medis maupun non medis terlihat. Mereka sangat antusias mengikuti pelatihan ini dari awal sampai akhir.
Materi mengenai “Kamar Bedah” ini disampaikan oleh relawan perawat senior MER-C yang sudah sering terjun dalam misi-misi kemanusiaan MER-C ke daerah bencana, yaitu Ita Muswita, Rita Elseria, Lina, dan Yuyum Rumyati. Empat relawan tersebut merupakan para perawat yang kesehariannya adalah perawat OK (perawat bedah/perawat ruang operasi) di rumah sakit. Selain memberikan materi mengenai kamar bedah, mereka juga membagi pengalaman dan penjelasan mengenai kondisi yang terjadi di lapangan dilengkapi dengan sejumlah foto-foto dokumentasi kegiatan.
Pada pengenalan awal diberikan penjelasan mengenai apa dan bagaimana ruang bedah atau ruang OK, mulai dari barang-barang dan peralatan yang terdapat di dalamnya, struktur dan posisi SDM, bagaimana mensterilkan alat-alat operasi, serta alternatif barang atau peralatan apa saja yang bisa digunakan apabila ada alat atau barang yang kurang atau tidak tersedia. Hal lainnya yang diajarkan pada pengenalan awal ini juga mencakup bagaimana cara cuci tangan yang baik, memakai pakaian operasi, jubah, sarung tangan, topi, masker operasi secara lengkap dan benar agar kita tetap dalam kondisi steril.
Selain penjelasan mengenai orang-orang yang bertugas di kamar bedah, juga dijelaskan bagaimana tahapan menyiapkan pasien yang akan diberi tindakan pembedahan, mulai dari pasien datang dari ruang perawatan sampai dengan pasien itu siap untuk diberi tindakan. Peserta diajarkan bagaimana cara yang benar ketika memindahkan pasien dari brankar (tempat tidur pasien) ke meja operasi, mencuci, membersihkan, mensterilkan, dan mengatur posisi pasien. Selain itu, peserta juga diberitahukan dimana posisi yang baik untuk menempatkan SDM-SDM di ruang OK seperti tenaga anastesi, operator, dll agar tidak mengganggu arus lalu lintas di ruang bedah tersebut.
Selain penjelasan berupa teori, pelatihan ini juga dilengkap praktek langsung dengan menggunakan boneka (manekin). Secara bergantian, semua peserta diberikan kesempatan untuk mempraktekkan apa yang sudah dijelaskan pemateri. Suasana praktek dipenuhi dengan canda tawa, sebab ternyata banyak dari para peserta yang melakukan kesalahan pada saat praktek. Para pemateri dengan sigap langsung mengoreksi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan peserta.
Dengan adanya pelatihan kamar bedah ini, diharapkan relawan MER-C bisa lebih siap dan sudah terlatih saat harus membantu tindakan operasi di daerah bencana. Untuk selanjutnya program berbagi ilmu ini akan terus diadakan dengan berbagai macam tema yang terkait dengan medis dan bencana sehingga bisa menambah ilmu dan ketrampilan relawan.
Sumber :
http://www.mer-c.org/events/681-biar-qmengenal-kamar-bedahq.html
2 Desember 2009
Materi mengenai “Kamar Bedah” ini disampaikan oleh relawan perawat senior MER-C yang sudah sering terjun dalam misi-misi kemanusiaan MER-C ke daerah bencana, yaitu Ita Muswita, Rita Elseria, Lina, dan Yuyum Rumyati. Empat relawan tersebut merupakan para perawat yang kesehariannya adalah perawat OK (perawat bedah/perawat ruang operasi) di rumah sakit. Selain memberikan materi mengenai kamar bedah, mereka juga membagi pengalaman dan penjelasan mengenai kondisi yang terjadi di lapangan dilengkapi dengan sejumlah foto-foto dokumentasi kegiatan.
Pada pengenalan awal diberikan penjelasan mengenai apa dan bagaimana ruang bedah atau ruang OK, mulai dari barang-barang dan peralatan yang terdapat di dalamnya, struktur dan posisi SDM, bagaimana mensterilkan alat-alat operasi, serta alternatif barang atau peralatan apa saja yang bisa digunakan apabila ada alat atau barang yang kurang atau tidak tersedia. Hal lainnya yang diajarkan pada pengenalan awal ini juga mencakup bagaimana cara cuci tangan yang baik, memakai pakaian operasi, jubah, sarung tangan, topi, masker operasi secara lengkap dan benar agar kita tetap dalam kondisi steril.
Selain penjelasan mengenai orang-orang yang bertugas di kamar bedah, juga dijelaskan bagaimana tahapan menyiapkan pasien yang akan diberi tindakan pembedahan, mulai dari pasien datang dari ruang perawatan sampai dengan pasien itu siap untuk diberi tindakan. Peserta diajarkan bagaimana cara yang benar ketika memindahkan pasien dari brankar (tempat tidur pasien) ke meja operasi, mencuci, membersihkan, mensterilkan, dan mengatur posisi pasien. Selain itu, peserta juga diberitahukan dimana posisi yang baik untuk menempatkan SDM-SDM di ruang OK seperti tenaga anastesi, operator, dll agar tidak mengganggu arus lalu lintas di ruang bedah tersebut.
Selain penjelasan berupa teori, pelatihan ini juga dilengkap praktek langsung dengan menggunakan boneka (manekin). Secara bergantian, semua peserta diberikan kesempatan untuk mempraktekkan apa yang sudah dijelaskan pemateri. Suasana praktek dipenuhi dengan canda tawa, sebab ternyata banyak dari para peserta yang melakukan kesalahan pada saat praktek. Para pemateri dengan sigap langsung mengoreksi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan peserta.
Dengan adanya pelatihan kamar bedah ini, diharapkan relawan MER-C bisa lebih siap dan sudah terlatih saat harus membantu tindakan operasi di daerah bencana. Untuk selanjutnya program berbagi ilmu ini akan terus diadakan dengan berbagai macam tema yang terkait dengan medis dan bencana sehingga bisa menambah ilmu dan ketrampilan relawan.
Sumber :
http://www.mer-c.org/events/681-biar-qmengenal-kamar-bedahq.html
2 Desember 2009
Al-Zahrawi, Bapak Ilmu Bedah Modern
Peletak dasar-dasar ilmu bedah modern itu bernama Al-Zahrawi (936 M-1013 M). Orang barat mengenalnya sebagai Abulcasis. Al-Zahrawi adalah seorang dokter bedah yang amat fenomenal. Karya dan hasil pemikirannya banyak diadopsi para dokter di dunia barat. “Prinsip-prinsip ilmu kedokteran yang diajarkan Al-Zahrawi menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di Eropa,” ujar Dr. Campbell dalam History of Arab Medicine.
Ahli bedah yang termasyhur hingga ke abad 21 itu bernama lengkap Abu al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas Al-Zahrawi. Ia terlahir pada tahun 936 M di kota Al-Zahra, sebuah kota berjarak 9,6 km dari Cordoba, Spanyol. Al-Zahrawi merupakan keturunan Arab Ansar yang menetap di Spanyol. Di kota Cordoba inilah dia menimba ilmu, mengajarkan ilmu kedokteran, mengobati masyarakat, serta mengembangkan ilmu bedah bahkan hingga wafat.
Kota Al Zahra di Cordoba, Spanyol didirikan oleh Abd Rahman II
Kisah masa kecilnya tak banyak terungkap. Sebab, tanah kelahirannya Al-Zahra dijarah dan dihancurkan. Sosok dan kiprah Al-Zahrawi baru terungkap ke permukaan, setelah ilmuwan Andalusia Abu Muhammad bin Hazm (993M-1064M) menempatkannya sebagai salah seorang dokter bedah terkemuka di Spanyol. Sejarah hidup alias biografinya baru muncul dalam Al-Humaydi’s Jadhwat al Muqtabis yang baru rampung setelah enam dasa warsa kematiannya.
Al-Zahrawi mendedikasikan separuh abad masa hidupnya untuk praktik dan mengajarkan ilmu kedokteran. Sebagai seorang dokter termasyhur, Al-Zahrawi pun diangkat menjadi dokter istana pada era kekhalifahan Al-Hakam II di Andalusia. Berbeda dengan ilmuwan muslim kebanyakan, Al-Zahrawi tak terlalu banyak melakukan perjalanan. Ia lebih banyak mendedikasikan hidupnya untuk merawat korban kecelakaan serta korban perang.
Al Zahrawi sedang memeriksa pasien
Para dokter di zamannya mengakui bahwa Al-Zahrawi adalah seorang dokter yang jenius terutama di bidang bedah. Jasanya dalam mengembangkan ilmu kedokteran sungguh sangat besar. Al-Zahrawi meninggalkan sebuah ‘harta karun’ yang tak ternilai harganya bagi ilmu kedokteran yakni berupa kitab Al-Tasrif li man ajaz an-il-talil—sebuah ensiklopedia kedokteran. Kitab yang dijadikan materi sekolah kedokteran di Eropa itu terdiri dari 30 volume.
Dalam kitab yang diwariskannya bagi peradaban dunia itu, Al-Zahrawi secara rinci dan lugas mengupas tentang ilmu bedah, orthopedic, opththalmologi, farmakologi, serta ilmu kedokteran secara umum. Ia juga mengupas tentang kosmetika. Al-Zahrawi pun ternyata begitu berjasa dalam bidang kosmetika. Sederet produk kosmetika seperti deodorant, hand lotion, pewarna rambut yang berkembang hingga kini merupakan hasil pengembangan dari karya Al-Zahrawi.
Popularitas Al-Zahrawi sebagai dokter bedah yang andal menyebar hingga ke seantero Eropa. Tak heran, bila kemudian pasien dan anak muda yang ingin belajar ilmu kedokteran dari Abulcasis berdatangan dari berbagai penjuru Eropa. Menurut Will Durant, pada masa itu Cordoba menjadi tempat favorit bagi orang-orang Eropa yang ingin menjalani operasi bedah. Di puncak kejayaannya, Cordoba memiliki tak kurang dari 50 rumah sakit yang memberikan pelayanan prima.
Sebagai seorang guru ilmu kedokteran, Al-Zahrawi begitu mencintai murid-muridnya. Dalam Al-Tasrif, dia mengungkapkan kepedulian terhadap kesejahteraan siswanya. Al-Zahrawi pun mengingatkan kepada para muridnya tentang pentingnya membangun hubungan yang baik dengan pasien. Menurut Al-Zahrawi, seorang dokter yang baik haruslah melayani pasiennya sebaik mungkin tanpa membedakan status sosialnya.
Dalam menjalankan praktik kedokterannya, Al-Zahrawi menanamkan pentingnya observasi tertutup dalam kasus-kasus individual. Hal itu dilakukan untuk tercapainya diagnosis yang akurat serta kemungkinan pelayanan yang terbaik. Al-Zahrawi pun selalu mengingatkan agar para dokter berpegang pada norma dan kode etik kedokteran, yakni tak menggunakan profesi dokter hanya untuk meraup keuntungan materi.
Menurut Al-Zahrawi profesi dokter bedah tak bisa dilakukan sembarang orang. Pada masa itu, dia kerap mengingatkan agar masyarakat tak melakukan operasi bedah kepada dokter atau dukun yang mengaku-ngaku memiliki keahlian operasi bedah. Hanya dokter yang memiliki keahlian dan bersertifikat saja yang boleh melakukan operasi bedah. Mungkin karena itulah di era modern ini muncul istilah dokter spesialis bedah (surgeon).
Kehebatan dan profesionalitas Al-Zahrawi sebagai seorang ahli bedah diakui para dokter di Eropa. “Tak diragukan lagi, Al-Zahrawi adalah kepala dari seluruh ahli bedah.” Ucap Pietro Argallata. Kitab Al-Tasrif yang ditulisnya lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona pada abad ke-12 M. Kitab itu juga dilengkapi dengan ilustrasi. Kitab itu menjadi rujukan dan buku resmi sekolah kedokteran dan para dokter serta ahli bedah Eropa selama lima abad lamanya pada periode abad pertengahan.
Sosok dan pemikiran Al-Zahrawi begitu dikagumi para dokter serta mahasiswa kedokteran di Eropa. Pada abad ke-14, seorang ahli bedah Perancis bernama Guy de Chauliac mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari 200 kali. Kitab Al-Tasrif terus menjadi pegangan para dokter di Eropa hingga terciptanya era Renaissance. Hingga abad ke-16, ahli bedah berkebangsaan Prancis, Jaques Delechamps (1513M-1588M) masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.
Al-Zahrawi tutup usia di kota Cordoba pada tahun 1013M—dua tahun setelah tanah kelahirannya dijarah dan dihancurkan. Meski Cordoba kini bukan lagi menjadi kota bagi umat Islam, namun namanya masih diabadikan menjadi nama jalan kehormatan yakni ‘Calle Albucasis’. Di jalan itu terdapat rumah nomor 6 –yakni rumah tempat Al-Zahrawi pernah tinggal . Kini rumah itu menjadi cagar budaya yang dilindungi Badan Kepariwisataan Spanyol.
Sang penemu puluhan alat bedah modern
Selama separuh abad mendedikasikan dirinya untuk pengembangan ilmu kedokteran khususnya bedah, Al-Zahrawi telah menemukan puluhan alat bedah modern.
alt bedah al zahrawi
Dalam kitab Al-Tasrif, ‘bapak ilmu bedah’ itu memperkenalkan lebih dari 200 alat bedah yang dimilikinya. Di antara ratusan koleksi alat bedah yang dipunyainya, ternyata banyak peralatan yang tak pernah digunakan ahli bedah sebelumnya.
Menurut catatan, selama karirnya Al-Zahrawi telah menemukan 26 peralatan bedah. Salah satu alat bedah yang ditemukan dan digunakan Al-Zahrawi adalah catgut. Alat yang digunakan untuk menjahit bagian dalam itu hingga kini masih digunakan ilmu bedah modern. Selain itu, juga menemukan forceps untuk mengangkat janin yang meninggal. Alat itu digambarkan dalam kitab Al-tasrif.
Dalam Al-Tasrif, Al-Zahrawi juga memperkenalkan penggunaan ligature (benang pengikat luka) untuk mengontrol pendarahan arteri. Jarum bedah ternyata juga ditemukan dan dipaparkan secara jelas dalam Al-Tasrif. Selain itu, Al-Zahrawi juga memperkenalkan sederet alat bedah lain hasil penemuannya.
Peralatan penting untuk bedah yang ditemukannya itu antara lain, pisau bedah (scalpel), curette, retractor, sendok bedah (surgical spoon), sound, pengait bedah (surgical hook), surgical rod, dan specula. Tak cuma itu, Al-Zahrawi juga menemukan peralatan bedah yang digunakan untuk memeriksa dalam uretra, alat untuk memindahkan benda asing dari tenggorokan serta alat untuk memeriksa telinga. Kontribusi Al-Zahrawi bagi dunia kedokteran khususnya bedah hingga kini tetap dikenang dunia.
Ref :
kolom-biografi.blogspot.com
legadoandalusia.es
Sumber :
http://rumahislam.com/tokoh/3-ilmuwan/599-al-zahrawi-bapak-ilmu-bedah-modern.html
14 Agustus 2009
Ahli bedah yang termasyhur hingga ke abad 21 itu bernama lengkap Abu al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas Al-Zahrawi. Ia terlahir pada tahun 936 M di kota Al-Zahra, sebuah kota berjarak 9,6 km dari Cordoba, Spanyol. Al-Zahrawi merupakan keturunan Arab Ansar yang menetap di Spanyol. Di kota Cordoba inilah dia menimba ilmu, mengajarkan ilmu kedokteran, mengobati masyarakat, serta mengembangkan ilmu bedah bahkan hingga wafat.
Kota Al Zahra di Cordoba, Spanyol didirikan oleh Abd Rahman II
Kisah masa kecilnya tak banyak terungkap. Sebab, tanah kelahirannya Al-Zahra dijarah dan dihancurkan. Sosok dan kiprah Al-Zahrawi baru terungkap ke permukaan, setelah ilmuwan Andalusia Abu Muhammad bin Hazm (993M-1064M) menempatkannya sebagai salah seorang dokter bedah terkemuka di Spanyol. Sejarah hidup alias biografinya baru muncul dalam Al-Humaydi’s Jadhwat al Muqtabis yang baru rampung setelah enam dasa warsa kematiannya.
Al-Zahrawi mendedikasikan separuh abad masa hidupnya untuk praktik dan mengajarkan ilmu kedokteran. Sebagai seorang dokter termasyhur, Al-Zahrawi pun diangkat menjadi dokter istana pada era kekhalifahan Al-Hakam II di Andalusia. Berbeda dengan ilmuwan muslim kebanyakan, Al-Zahrawi tak terlalu banyak melakukan perjalanan. Ia lebih banyak mendedikasikan hidupnya untuk merawat korban kecelakaan serta korban perang.
Al Zahrawi sedang memeriksa pasien
Para dokter di zamannya mengakui bahwa Al-Zahrawi adalah seorang dokter yang jenius terutama di bidang bedah. Jasanya dalam mengembangkan ilmu kedokteran sungguh sangat besar. Al-Zahrawi meninggalkan sebuah ‘harta karun’ yang tak ternilai harganya bagi ilmu kedokteran yakni berupa kitab Al-Tasrif li man ajaz an-il-talil—sebuah ensiklopedia kedokteran. Kitab yang dijadikan materi sekolah kedokteran di Eropa itu terdiri dari 30 volume.
Dalam kitab yang diwariskannya bagi peradaban dunia itu, Al-Zahrawi secara rinci dan lugas mengupas tentang ilmu bedah, orthopedic, opththalmologi, farmakologi, serta ilmu kedokteran secara umum. Ia juga mengupas tentang kosmetika. Al-Zahrawi pun ternyata begitu berjasa dalam bidang kosmetika. Sederet produk kosmetika seperti deodorant, hand lotion, pewarna rambut yang berkembang hingga kini merupakan hasil pengembangan dari karya Al-Zahrawi.
Popularitas Al-Zahrawi sebagai dokter bedah yang andal menyebar hingga ke seantero Eropa. Tak heran, bila kemudian pasien dan anak muda yang ingin belajar ilmu kedokteran dari Abulcasis berdatangan dari berbagai penjuru Eropa. Menurut Will Durant, pada masa itu Cordoba menjadi tempat favorit bagi orang-orang Eropa yang ingin menjalani operasi bedah. Di puncak kejayaannya, Cordoba memiliki tak kurang dari 50 rumah sakit yang memberikan pelayanan prima.
Sebagai seorang guru ilmu kedokteran, Al-Zahrawi begitu mencintai murid-muridnya. Dalam Al-Tasrif, dia mengungkapkan kepedulian terhadap kesejahteraan siswanya. Al-Zahrawi pun mengingatkan kepada para muridnya tentang pentingnya membangun hubungan yang baik dengan pasien. Menurut Al-Zahrawi, seorang dokter yang baik haruslah melayani pasiennya sebaik mungkin tanpa membedakan status sosialnya.
Dalam menjalankan praktik kedokterannya, Al-Zahrawi menanamkan pentingnya observasi tertutup dalam kasus-kasus individual. Hal itu dilakukan untuk tercapainya diagnosis yang akurat serta kemungkinan pelayanan yang terbaik. Al-Zahrawi pun selalu mengingatkan agar para dokter berpegang pada norma dan kode etik kedokteran, yakni tak menggunakan profesi dokter hanya untuk meraup keuntungan materi.
Menurut Al-Zahrawi profesi dokter bedah tak bisa dilakukan sembarang orang. Pada masa itu, dia kerap mengingatkan agar masyarakat tak melakukan operasi bedah kepada dokter atau dukun yang mengaku-ngaku memiliki keahlian operasi bedah. Hanya dokter yang memiliki keahlian dan bersertifikat saja yang boleh melakukan operasi bedah. Mungkin karena itulah di era modern ini muncul istilah dokter spesialis bedah (surgeon).
Kehebatan dan profesionalitas Al-Zahrawi sebagai seorang ahli bedah diakui para dokter di Eropa. “Tak diragukan lagi, Al-Zahrawi adalah kepala dari seluruh ahli bedah.” Ucap Pietro Argallata. Kitab Al-Tasrif yang ditulisnya lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona pada abad ke-12 M. Kitab itu juga dilengkapi dengan ilustrasi. Kitab itu menjadi rujukan dan buku resmi sekolah kedokteran dan para dokter serta ahli bedah Eropa selama lima abad lamanya pada periode abad pertengahan.
Sosok dan pemikiran Al-Zahrawi begitu dikagumi para dokter serta mahasiswa kedokteran di Eropa. Pada abad ke-14, seorang ahli bedah Perancis bernama Guy de Chauliac mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari 200 kali. Kitab Al-Tasrif terus menjadi pegangan para dokter di Eropa hingga terciptanya era Renaissance. Hingga abad ke-16, ahli bedah berkebangsaan Prancis, Jaques Delechamps (1513M-1588M) masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.
Al-Zahrawi tutup usia di kota Cordoba pada tahun 1013M—dua tahun setelah tanah kelahirannya dijarah dan dihancurkan. Meski Cordoba kini bukan lagi menjadi kota bagi umat Islam, namun namanya masih diabadikan menjadi nama jalan kehormatan yakni ‘Calle Albucasis’. Di jalan itu terdapat rumah nomor 6 –yakni rumah tempat Al-Zahrawi pernah tinggal . Kini rumah itu menjadi cagar budaya yang dilindungi Badan Kepariwisataan Spanyol.
Sang penemu puluhan alat bedah modern
Selama separuh abad mendedikasikan dirinya untuk pengembangan ilmu kedokteran khususnya bedah, Al-Zahrawi telah menemukan puluhan alat bedah modern.
alt bedah al zahrawi
Dalam kitab Al-Tasrif, ‘bapak ilmu bedah’ itu memperkenalkan lebih dari 200 alat bedah yang dimilikinya. Di antara ratusan koleksi alat bedah yang dipunyainya, ternyata banyak peralatan yang tak pernah digunakan ahli bedah sebelumnya.
Menurut catatan, selama karirnya Al-Zahrawi telah menemukan 26 peralatan bedah. Salah satu alat bedah yang ditemukan dan digunakan Al-Zahrawi adalah catgut. Alat yang digunakan untuk menjahit bagian dalam itu hingga kini masih digunakan ilmu bedah modern. Selain itu, juga menemukan forceps untuk mengangkat janin yang meninggal. Alat itu digambarkan dalam kitab Al-tasrif.
Dalam Al-Tasrif, Al-Zahrawi juga memperkenalkan penggunaan ligature (benang pengikat luka) untuk mengontrol pendarahan arteri. Jarum bedah ternyata juga ditemukan dan dipaparkan secara jelas dalam Al-Tasrif. Selain itu, Al-Zahrawi juga memperkenalkan sederet alat bedah lain hasil penemuannya.
Peralatan penting untuk bedah yang ditemukannya itu antara lain, pisau bedah (scalpel), curette, retractor, sendok bedah (surgical spoon), sound, pengait bedah (surgical hook), surgical rod, dan specula. Tak cuma itu, Al-Zahrawi juga menemukan peralatan bedah yang digunakan untuk memeriksa dalam uretra, alat untuk memindahkan benda asing dari tenggorokan serta alat untuk memeriksa telinga. Kontribusi Al-Zahrawi bagi dunia kedokteran khususnya bedah hingga kini tetap dikenang dunia.
Ref :
kolom-biografi.blogspot.com
legadoandalusia.es
Sumber :
http://rumahislam.com/tokoh/3-ilmuwan/599-al-zahrawi-bapak-ilmu-bedah-modern.html
14 Agustus 2009
Bedah Robotik adalah 'Standar Emas' Baru untuk Bedah Prostat
Bisakah Anda membayangkan dokter bedah dengan empat tangan dan mata yang dapat melihat lebih dekat, serta otak yang bisa memproses informasi terus-menerus tanpa istirahat? Menurut Anda itu hanya fiksi ilmiah? Mungkin benar 20 tahun lalu, tapi tidak lagi sekarang.
Selamat datang di dunia bedah robotik - dan berkenalanlah dengan dokter luar biasa ini - Dr Da Vinci. Sistem bedah Da Vinci memadukan kapabilitas endoskopi 3-D dan teknologi robot canggih, yang secara virtual dapat memperpanjang tangan dan mata dokter, ke dalam dunia bedah. "Bedah robotik memiliki banyak keuntungan. Pertama, Da Vinci memberi alternatif invasif minimal dan pembesaran yang baik, sehingga memberi tampilan 3D dari area yang bermasalah. Selain itu, tangan-tangan robot mampu menirukan gerakan tangan manusia, sehingga bisa menjahit dengan sangat tepat," kata Dr Tan Eng Choon dari E.C. Tan Urology di Mount Elizabeth Medical Centre.
Selain kemudahan bedah, sistem bedah Da Vinci memberi pasien pemulihan yang lebih cepat dan sakit pasca operasi yang minimal. Dua rumah sakit di Singapura telah berinvestasi besar-besaran untuk sistem robotik - Mount Elizabeth Hospital di bawah naungan Parkway Group dan Singapore General Hospital. Menurut Dr Tan, sistem Da Vinci sangat baik terutama untuk kanker prostat, di mana operasi sering menjadi perawatan yang umum. Kondisi yang mempengaruhi organ-organ pada saluran kemih seperti kandung kemih dan kanker ginjal juga dapat mengambil manfaat dari bedah robotik.
Dalam kondisi normal, menghadapi bedah urologi apa pun bentuknya biasanya menciptakan kekhawatiran yang besar. Bedah urologi terbuka tradisional - di mana insisi besar dibuat untuk mengakses organ-organ pelvis - selama ini menjadi pendekatan standar. Tapi bedah terbuka memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut meliputi sakit pasca operasi , masa pemulihan yang lama dan potensi dampak jangka panjang yang susah ditebak pada fungsi seksual dan kontinensia.
"Prostat berada di rongga yang dalam di daerah pelvis. Organ ini kecil - seukuran buah kenari - dan sulit diakses. Tempatnya tidak hanya sangat terselip tetapi juga dikelilingi syaraf-syaraf yang mempengaruhi kendali kemih dan fungsi seksual. Karena itulah secara konvensional, kita memerlukan bedah terbuka pada kasus-kasus prostat. Meski begitu, pembedahan cukup sulit dilakukan," katanya.
Prostat adalah kelenjar reproduksi pria yang menghasilkan cairan yang ditemukan pada semen. Terletak di bawah kandung kemih dan di depan anus, prostat mengelilingi uretra - tabung yang mengosongkan urine dari kandung kemih. Kanker prostat mempengaruhi kelenjar prostat dan dapat menyebar ke struktur sekelilingnya. Meski kebanyakan penderita kanker prostat tidak menampakkan gejala, dokter dapat mendeteksi kanker prostat saat pemeriksaan rutin, dengan menggunakan gabungan antara tes darah yang disebut PSA dan pengujian rektum digital, atau DRE. Gangguan ini umum terjadi pada laki-laki, terutama berusia lanjut. Dengan kesadaran yang lebih baik, deteksi kanker prostat semakin menjadi tren dan tingkat kematian akibat prostat menurun. Perawatan yang lebih baik juga membuat lebih banyak pria mendapatkan lagi kehidupan yang aktif dan produktif setelah perawatan.
Bagi penderita yang berhasil didiagnosis dini, biasanya terdapat beberapa pilihan perawatan yang meliputi pendekatan konservatif, terapi radiasi dan prostatektomi - pengangkatan prostat dengan bedah. Perawatan yang disebut terakhir ini sekarang menjadi prosedur "standar emas" untuk pria di bawah 70 tahun dengan kanker pada organ terbatas stadium awal. "Tujuan utama prostatektomi adalah menghilangkan kanker. Tujuan kedua adalah menjaga fungsi uriner dan, jika dapat diterapkan, fungsi ereksi. Menjaga syaraf-syaraf yang diperlukan untuk ereksi dapat menjadi tujuan yang sangat penting bagi pasien. Syaraf-syaraf ini melewati prostat dan sering rusak saat prostat diangkat," jelas Dr Tan.
Untungnya, pilihan bedah yang tidak seberapa invasif kini tersedia bagi banyak pasien yang menghadapi prostatektomi. Pilihan paling umum adalah laparoskopi, yang menggunakan kamera bedah khusus dan instrumen yang rigid untuk mengakses dan mengangkat prostat dengan menggunakan beberapa insisi kecil. Tapi kendati laparoskopi bisa efektif pada banyak prosedur biasa, keterbatasan teknologi ini membuatnya tidak bisa digunakan untuk kasus yang lebih kompleks.
Tetapi dengan kemajuan teknologi robotik, bedah yang kompleks sekalipun dapat menjadi lebih efisien dan efektif. "Risiko bedah prostat sekarang jauh lebih kecil. Sekarang, kita dapat melakukan zoom langsung pada area tempat syaraf dan jaringan mengumpul. Dengan kejelasan yang lebih baik dan anatomi kritis yang detil, risiko yang biasanya ada pada bedah tradisional dapat dihindari, seperti inkontinensia dan impotensi," papar Dr Tan.
Presisi robotik memungkinkan preservasi panjang uretra dan konstruksi anastomosis kedap air yang lebih baik, sehingga menurunkan kemungkinan inkontinensia. Dengan visualisasi yang dapat diperbesar, diseksi dan preservasi syaraf dapat dilakukan dengan tepat, sehingga fungsi seksual pria dapat dipertahankan. Dan tidak seperti bedah konvensional yang sebagian besar mengandalkan keahlian kerja dokter bedah, bedah robotik dengan komputerisasi meminimalkan "getaran tangan" yang berarti mengurangi risiko kesalahan akibat kelelahan.
Sistem Da Vinci mulai diperkenalkan di sini sekitar tiga tahun yang lalu. Sejak saat itu, Dr Tan telah melakukan antara 70 hingga 80 kasus prostatektomi dengan menggunakan teknologi robotik. Bedah robotik pertama kali dilakukan di Jerman tahun 2000. Sejak itu, puluhan ribu operasi prostatektomi robotik dilakukan di seluruh dunia, mulai Amerika Serikat, Eropa dan sekarang, Asia. Hingga 2005, hampir 30 persen dari semua prostatektomi radikal dilakukan dengan bantuan robot.
Pertumbuhan yang luar biasa ini dipicu oleh keunggulan sistem Da Vinci. Tapi teknologi ini juga membawa bandrol harga yang tinggi - secara rata-rata, biaya bedah robot 40 persen lebih mahal. Tetapi keunggulannya mengalahkan biaya ekstra tersebut.
"Biaya operasi dengan Da Vinci sekitar $35.000, tapi bedah berbantuan robot ini memberi hasil klinis yang lebih baik, dan jumlah darah yang hilang lebih kecil, sehingga jika Anda menghitung semua keuntungannya, biayanya yang lebih tinggi itu tetap masuk akal," katanya. Sebagaimana bedah yang lain, keuntungan ini tidak dapat dijamin, karena operasi bersifat spesifik untuk setiap pasien dan prosedur. Meski prostatektomi dengan sistem bedah Da Vinci dianggap aman dan efektif, tapi prosedur ini mungkin tidak cocok untuk semua orang.
"Pasien harus selalu bertanya kepada dokter tentang pilihan-pilihan perawatan yang tersedia, sebelum memutuskan pilihan mana yang terbaik sesuai dengan kasusnya," ujar Dr Tan. Di samping menguntungkan pasien, sistem ini juga menghilangkan ketegangan otot pada dokter, karena dokter cukup duduk di konsol dan menyibukkan diri dengan tampilan prostat dan pelvis yang diperbesar.
Popularitas bedah robotik menyebabkan menjamurnya pusat-pusat robotik di seluruh dunia. "Prostatektomi robotik mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sebagai pilihan perawatan kanker prostat di Amerika Serikat saat ini. Asia sepertinya juga mengikut tren ini seperti terlihat pada semakin banyaknya sistem Da Vinci yang diterapkan untuk mengakomodasi meningkatnya jumlah pria yang didiagnosis kanker prostat dini," lanjur Dr Tan.
Selain kanker prostat dan masalah urologi lainnya, sistem bedah Da Vinci dapat juga digunakan untuk beberapa kondisi ginealogi. Tetapi di luar itu, untuk sekarang penggunaannya masih terbatas. "Mengingat desain sistem robot saat ini, baru beberapa jenis operasi bisa dilakukan dengan pendekatan ini. Tetapi depan kemajuan teknologi, pasti kita akan menyaksikan perkembangan dan perluasan cakupan penggunaannya," pungkas Dr. Tan.
Sumber :
http://www.singaporemedicine.com/id/healthcaredest/story0004.asp
Selamat datang di dunia bedah robotik - dan berkenalanlah dengan dokter luar biasa ini - Dr Da Vinci. Sistem bedah Da Vinci memadukan kapabilitas endoskopi 3-D dan teknologi robot canggih, yang secara virtual dapat memperpanjang tangan dan mata dokter, ke dalam dunia bedah. "Bedah robotik memiliki banyak keuntungan. Pertama, Da Vinci memberi alternatif invasif minimal dan pembesaran yang baik, sehingga memberi tampilan 3D dari area yang bermasalah. Selain itu, tangan-tangan robot mampu menirukan gerakan tangan manusia, sehingga bisa menjahit dengan sangat tepat," kata Dr Tan Eng Choon dari E.C. Tan Urology di Mount Elizabeth Medical Centre.
Selain kemudahan bedah, sistem bedah Da Vinci memberi pasien pemulihan yang lebih cepat dan sakit pasca operasi yang minimal. Dua rumah sakit di Singapura telah berinvestasi besar-besaran untuk sistem robotik - Mount Elizabeth Hospital di bawah naungan Parkway Group dan Singapore General Hospital. Menurut Dr Tan, sistem Da Vinci sangat baik terutama untuk kanker prostat, di mana operasi sering menjadi perawatan yang umum. Kondisi yang mempengaruhi organ-organ pada saluran kemih seperti kandung kemih dan kanker ginjal juga dapat mengambil manfaat dari bedah robotik.
Dalam kondisi normal, menghadapi bedah urologi apa pun bentuknya biasanya menciptakan kekhawatiran yang besar. Bedah urologi terbuka tradisional - di mana insisi besar dibuat untuk mengakses organ-organ pelvis - selama ini menjadi pendekatan standar. Tapi bedah terbuka memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut meliputi sakit pasca operasi , masa pemulihan yang lama dan potensi dampak jangka panjang yang susah ditebak pada fungsi seksual dan kontinensia.
"Prostat berada di rongga yang dalam di daerah pelvis. Organ ini kecil - seukuran buah kenari - dan sulit diakses. Tempatnya tidak hanya sangat terselip tetapi juga dikelilingi syaraf-syaraf yang mempengaruhi kendali kemih dan fungsi seksual. Karena itulah secara konvensional, kita memerlukan bedah terbuka pada kasus-kasus prostat. Meski begitu, pembedahan cukup sulit dilakukan," katanya.
Prostat adalah kelenjar reproduksi pria yang menghasilkan cairan yang ditemukan pada semen. Terletak di bawah kandung kemih dan di depan anus, prostat mengelilingi uretra - tabung yang mengosongkan urine dari kandung kemih. Kanker prostat mempengaruhi kelenjar prostat dan dapat menyebar ke struktur sekelilingnya. Meski kebanyakan penderita kanker prostat tidak menampakkan gejala, dokter dapat mendeteksi kanker prostat saat pemeriksaan rutin, dengan menggunakan gabungan antara tes darah yang disebut PSA dan pengujian rektum digital, atau DRE. Gangguan ini umum terjadi pada laki-laki, terutama berusia lanjut. Dengan kesadaran yang lebih baik, deteksi kanker prostat semakin menjadi tren dan tingkat kematian akibat prostat menurun. Perawatan yang lebih baik juga membuat lebih banyak pria mendapatkan lagi kehidupan yang aktif dan produktif setelah perawatan.
Bagi penderita yang berhasil didiagnosis dini, biasanya terdapat beberapa pilihan perawatan yang meliputi pendekatan konservatif, terapi radiasi dan prostatektomi - pengangkatan prostat dengan bedah. Perawatan yang disebut terakhir ini sekarang menjadi prosedur "standar emas" untuk pria di bawah 70 tahun dengan kanker pada organ terbatas stadium awal. "Tujuan utama prostatektomi adalah menghilangkan kanker. Tujuan kedua adalah menjaga fungsi uriner dan, jika dapat diterapkan, fungsi ereksi. Menjaga syaraf-syaraf yang diperlukan untuk ereksi dapat menjadi tujuan yang sangat penting bagi pasien. Syaraf-syaraf ini melewati prostat dan sering rusak saat prostat diangkat," jelas Dr Tan.
Untungnya, pilihan bedah yang tidak seberapa invasif kini tersedia bagi banyak pasien yang menghadapi prostatektomi. Pilihan paling umum adalah laparoskopi, yang menggunakan kamera bedah khusus dan instrumen yang rigid untuk mengakses dan mengangkat prostat dengan menggunakan beberapa insisi kecil. Tapi kendati laparoskopi bisa efektif pada banyak prosedur biasa, keterbatasan teknologi ini membuatnya tidak bisa digunakan untuk kasus yang lebih kompleks.
Tetapi dengan kemajuan teknologi robotik, bedah yang kompleks sekalipun dapat menjadi lebih efisien dan efektif. "Risiko bedah prostat sekarang jauh lebih kecil. Sekarang, kita dapat melakukan zoom langsung pada area tempat syaraf dan jaringan mengumpul. Dengan kejelasan yang lebih baik dan anatomi kritis yang detil, risiko yang biasanya ada pada bedah tradisional dapat dihindari, seperti inkontinensia dan impotensi," papar Dr Tan.
Presisi robotik memungkinkan preservasi panjang uretra dan konstruksi anastomosis kedap air yang lebih baik, sehingga menurunkan kemungkinan inkontinensia. Dengan visualisasi yang dapat diperbesar, diseksi dan preservasi syaraf dapat dilakukan dengan tepat, sehingga fungsi seksual pria dapat dipertahankan. Dan tidak seperti bedah konvensional yang sebagian besar mengandalkan keahlian kerja dokter bedah, bedah robotik dengan komputerisasi meminimalkan "getaran tangan" yang berarti mengurangi risiko kesalahan akibat kelelahan.
Sistem Da Vinci mulai diperkenalkan di sini sekitar tiga tahun yang lalu. Sejak saat itu, Dr Tan telah melakukan antara 70 hingga 80 kasus prostatektomi dengan menggunakan teknologi robotik. Bedah robotik pertama kali dilakukan di Jerman tahun 2000. Sejak itu, puluhan ribu operasi prostatektomi robotik dilakukan di seluruh dunia, mulai Amerika Serikat, Eropa dan sekarang, Asia. Hingga 2005, hampir 30 persen dari semua prostatektomi radikal dilakukan dengan bantuan robot.
Pertumbuhan yang luar biasa ini dipicu oleh keunggulan sistem Da Vinci. Tapi teknologi ini juga membawa bandrol harga yang tinggi - secara rata-rata, biaya bedah robot 40 persen lebih mahal. Tetapi keunggulannya mengalahkan biaya ekstra tersebut.
"Biaya operasi dengan Da Vinci sekitar $35.000, tapi bedah berbantuan robot ini memberi hasil klinis yang lebih baik, dan jumlah darah yang hilang lebih kecil, sehingga jika Anda menghitung semua keuntungannya, biayanya yang lebih tinggi itu tetap masuk akal," katanya. Sebagaimana bedah yang lain, keuntungan ini tidak dapat dijamin, karena operasi bersifat spesifik untuk setiap pasien dan prosedur. Meski prostatektomi dengan sistem bedah Da Vinci dianggap aman dan efektif, tapi prosedur ini mungkin tidak cocok untuk semua orang.
"Pasien harus selalu bertanya kepada dokter tentang pilihan-pilihan perawatan yang tersedia, sebelum memutuskan pilihan mana yang terbaik sesuai dengan kasusnya," ujar Dr Tan. Di samping menguntungkan pasien, sistem ini juga menghilangkan ketegangan otot pada dokter, karena dokter cukup duduk di konsol dan menyibukkan diri dengan tampilan prostat dan pelvis yang diperbesar.
Popularitas bedah robotik menyebabkan menjamurnya pusat-pusat robotik di seluruh dunia. "Prostatektomi robotik mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sebagai pilihan perawatan kanker prostat di Amerika Serikat saat ini. Asia sepertinya juga mengikut tren ini seperti terlihat pada semakin banyaknya sistem Da Vinci yang diterapkan untuk mengakomodasi meningkatnya jumlah pria yang didiagnosis kanker prostat dini," lanjur Dr Tan.
Selain kanker prostat dan masalah urologi lainnya, sistem bedah Da Vinci dapat juga digunakan untuk beberapa kondisi ginealogi. Tetapi di luar itu, untuk sekarang penggunaannya masih terbatas. "Mengingat desain sistem robot saat ini, baru beberapa jenis operasi bisa dilakukan dengan pendekatan ini. Tetapi depan kemajuan teknologi, pasti kita akan menyaksikan perkembangan dan perluasan cakupan penggunaannya," pungkas Dr. Tan.
Sumber :
http://www.singaporemedicine.com/id/healthcaredest/story0004.asp
Profesor Bedah Saraf dari Kampung
Judul: Tinta Emas di Kanvas Dunia
Penulis: Pitan Daslani
Penerbit: Kompas Media Nusantara
Edisi: Februari 2010
Tebal: xvii + 193 halaman
Pada 20 Februari sembilan tahun silam, Eka Julianta Wahjoepramono tak bisa menutupi kegugupannya melihat batang otak Ardiansyah. Sejak lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, baru kali ini Eka menghadapi batang otak manusia bernyawa. Dokter bedah saraf ini terdiam sejenak sebelum mengiris tumor sebesar anggur yang bersemayam di dalam batang otak itu. Operasi itu berlangsung hanya empat jam, tapi Eka merasa bertahun-tahun berada di kamar operasi Rumah Sakit Siloam, Tangerang, Banten.
Setelah berhasil mengangkat tumor dari batang otak, pemilik nama kecil Tjio Tjay Kian itu ditahbiskan sebagai pakar bedah saraf, tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia internasional. Perguruan tinggi kaliber internasional, seperti Universitas Harvard, Amerika Serikat; Universitas Toronto, Kanada; dan Universitas Melbourne, Australia, mengundangnya untuk memberi kuliah tentang bedah saraf. Ketiganya memberikan gelar visiting professor kepada Eka.
Edward R. Laws dari Fakultas Kedokteran Universitas Harvard, yang menjadi Presiden World Federation of Neurosurgical Societies XIII (Federasi Bedah Saraf Dunia), menilai Eka sebagai dokter luar biasa karena mempunyai ilmu membedah batang otak. Selama ini operasi batang otak tak pernah dilakukan karena berisiko mengakibatkan kematian. Namun Eka berhasil melakukannya dan Ardiansyah, pasiennya, tetap bernapas hingga sekarang.
Guru besar dan ahli bedah saraf dari Taiwan, Yong Kwang Tu, juga mengagumi Eka. Menurut Kwang Tu, keahlian Eka diraih berkat keuletannya sendiri tanpa didampingi oleh seorang ahli bedah saraf.
Pitan Daslani, wartawan senior di harian Jakarta Globe, dalam bukunya Tinta Emas di Kanvas Dunia, menuliskan biografi Eka. Pitan memulai kisah Eka sejak terseok-seok masuk jurusan kedokteran di beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia. Kesulitan ekonomi yang mengimpit orang tua Eka di Kampung Pondok, Klaten, Jawa Tengah, telah menempanya menjadi petualang ilmu. Ambisi yang kuat mengantarkan Eka meraih sukses dan pujian dari kalangan medis seantero dunia.
Melalui buku ini, Pitan ingin menunjukkan bahwa Indonesia punya prestasi bidang kedokteran di kancah dunia. Kesuksesan Eka menjadi jawaban Pitan membalikkan rumor-rumor yang menyebutkan bahwa dunia kedokteran Indonesia tertinggal dari negara lain. Pitan sekaligus menunjukkan, untuk menjadi dokter kaliber internasional, tidak harus bersekolah di kampus mahal dan dibimbing oleh seorang pakar kelas internasional.
Ditulis dengan kata-kata sederhana, Pitan secara perlahan menceritakan kesulitan Eka sejak kecil. Enam dari 16 bab isi buku menceritakan perjuangan keras Eka. Mulai ditolaknya ayah tiga anak itu di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, setamat sekolah menengah atas hingga akhirnya diterima di Universitas Diponegoro, Semarang. Pitan menggambarkan Eka sebagai sosok yang biasa-biasa saja dalam pendidikan. Saat sekolah menengah pertama, ia pernah mendapatkan nilai 3 dari skala 10 untuk pelajaran matematika.
Namun Pitan kurang urut dalam menyusun bab. Cerita mengenai Eka dan keluarganya tidak disatukan di awal. Tema tentang keberhasilan operasi juga kurang banyak. Hanya dua operasi yang diceritakan dengan detail dan menggambarkan perasaan Eka saat itu, yakni kegembiraan dan kesedihan. Padahal pengalaman Eka sebagai dokter bedah pasti memiliki banyak cerita operasi yang menarik. Salah satu yang menegangkan adalah ketika Eka dituduh melakukan malpraktek dan diadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dia dan manajemen rumah sakit dituntut sebesar Rp 200 miliar. Sayang, Pitan tidak tuntas menceritakan akhir tuntutan ini.
Tidak hanya menunjukkan kegigihan Eka, Pitan juga menunjukkan bahwa Eka pintar memanfaatkan situasi. Terutama saat dokter yang berusia 52 tahun itu kesulitan mendapatkan pendidikan spesialis bedah. Itu dimulai dari pilihan Eka menjadi dokter puskesmas di pedalaman Kalimantan Tengah agar cepat melanjutkan ke pendidikan spesialis. Eka juga memanfaatkan katebelece mertuanya, dokter bedah di Rumah Sakit Kariadi, Semarang, untuk mendaftar kuliah spesialis di Universitas Diponegoro; Universitas Airlangga, Surabaya; dan Universitas Padjadjaran, Bandung.
Buku ini juga menampilkan sosok Eka yang "menggunakan" dosennya di Universitas Padjadjaran, Iskarno, agar memperoleh pendidikan bedah di luar negeri. Eka tak sungkan-sungkan membujuk Iskarno, yang teman mertuanya, bertemu dengan Duta Besar Jerman untuk melancarkan mengambil pendidikan bedah di Jerman. Hal serupa dilakukan saat mendapatkan pendidikan di Jepang.
Sebagai ahli bedah saraf, Eka tergolong hebat karena kala itu ia baru mengenyam pendidikan strata II. Pendidikan doktor baru ia peroleh dari Universitas Hasanuddin, Makassar, tahun lalu. Pengabdiannya di dunia pendidikan ia teruskan dengan menjadi Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Jakarta.
Buku ini juga dilengkapi testimoni dari ahli bedah beragam negara serta foto-foto Eka saat memberikan kuliah dan seminar di berbagai universitas ternama.
AKBAR TRI KURNIAWAN
Sumber :
http://www.tempointeraktif.com/hg/buku/2010/03/15/brk,20100315-232670,id.html
15 Maret 2010
Penulis: Pitan Daslani
Penerbit: Kompas Media Nusantara
Edisi: Februari 2010
Tebal: xvii + 193 halaman
Pada 20 Februari sembilan tahun silam, Eka Julianta Wahjoepramono tak bisa menutupi kegugupannya melihat batang otak Ardiansyah. Sejak lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, baru kali ini Eka menghadapi batang otak manusia bernyawa. Dokter bedah saraf ini terdiam sejenak sebelum mengiris tumor sebesar anggur yang bersemayam di dalam batang otak itu. Operasi itu berlangsung hanya empat jam, tapi Eka merasa bertahun-tahun berada di kamar operasi Rumah Sakit Siloam, Tangerang, Banten.
Setelah berhasil mengangkat tumor dari batang otak, pemilik nama kecil Tjio Tjay Kian itu ditahbiskan sebagai pakar bedah saraf, tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia internasional. Perguruan tinggi kaliber internasional, seperti Universitas Harvard, Amerika Serikat; Universitas Toronto, Kanada; dan Universitas Melbourne, Australia, mengundangnya untuk memberi kuliah tentang bedah saraf. Ketiganya memberikan gelar visiting professor kepada Eka.
Edward R. Laws dari Fakultas Kedokteran Universitas Harvard, yang menjadi Presiden World Federation of Neurosurgical Societies XIII (Federasi Bedah Saraf Dunia), menilai Eka sebagai dokter luar biasa karena mempunyai ilmu membedah batang otak. Selama ini operasi batang otak tak pernah dilakukan karena berisiko mengakibatkan kematian. Namun Eka berhasil melakukannya dan Ardiansyah, pasiennya, tetap bernapas hingga sekarang.
Guru besar dan ahli bedah saraf dari Taiwan, Yong Kwang Tu, juga mengagumi Eka. Menurut Kwang Tu, keahlian Eka diraih berkat keuletannya sendiri tanpa didampingi oleh seorang ahli bedah saraf.
Pitan Daslani, wartawan senior di harian Jakarta Globe, dalam bukunya Tinta Emas di Kanvas Dunia, menuliskan biografi Eka. Pitan memulai kisah Eka sejak terseok-seok masuk jurusan kedokteran di beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia. Kesulitan ekonomi yang mengimpit orang tua Eka di Kampung Pondok, Klaten, Jawa Tengah, telah menempanya menjadi petualang ilmu. Ambisi yang kuat mengantarkan Eka meraih sukses dan pujian dari kalangan medis seantero dunia.
Melalui buku ini, Pitan ingin menunjukkan bahwa Indonesia punya prestasi bidang kedokteran di kancah dunia. Kesuksesan Eka menjadi jawaban Pitan membalikkan rumor-rumor yang menyebutkan bahwa dunia kedokteran Indonesia tertinggal dari negara lain. Pitan sekaligus menunjukkan, untuk menjadi dokter kaliber internasional, tidak harus bersekolah di kampus mahal dan dibimbing oleh seorang pakar kelas internasional.
Ditulis dengan kata-kata sederhana, Pitan secara perlahan menceritakan kesulitan Eka sejak kecil. Enam dari 16 bab isi buku menceritakan perjuangan keras Eka. Mulai ditolaknya ayah tiga anak itu di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, setamat sekolah menengah atas hingga akhirnya diterima di Universitas Diponegoro, Semarang. Pitan menggambarkan Eka sebagai sosok yang biasa-biasa saja dalam pendidikan. Saat sekolah menengah pertama, ia pernah mendapatkan nilai 3 dari skala 10 untuk pelajaran matematika.
Namun Pitan kurang urut dalam menyusun bab. Cerita mengenai Eka dan keluarganya tidak disatukan di awal. Tema tentang keberhasilan operasi juga kurang banyak. Hanya dua operasi yang diceritakan dengan detail dan menggambarkan perasaan Eka saat itu, yakni kegembiraan dan kesedihan. Padahal pengalaman Eka sebagai dokter bedah pasti memiliki banyak cerita operasi yang menarik. Salah satu yang menegangkan adalah ketika Eka dituduh melakukan malpraktek dan diadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dia dan manajemen rumah sakit dituntut sebesar Rp 200 miliar. Sayang, Pitan tidak tuntas menceritakan akhir tuntutan ini.
Tidak hanya menunjukkan kegigihan Eka, Pitan juga menunjukkan bahwa Eka pintar memanfaatkan situasi. Terutama saat dokter yang berusia 52 tahun itu kesulitan mendapatkan pendidikan spesialis bedah. Itu dimulai dari pilihan Eka menjadi dokter puskesmas di pedalaman Kalimantan Tengah agar cepat melanjutkan ke pendidikan spesialis. Eka juga memanfaatkan katebelece mertuanya, dokter bedah di Rumah Sakit Kariadi, Semarang, untuk mendaftar kuliah spesialis di Universitas Diponegoro; Universitas Airlangga, Surabaya; dan Universitas Padjadjaran, Bandung.
Buku ini juga menampilkan sosok Eka yang "menggunakan" dosennya di Universitas Padjadjaran, Iskarno, agar memperoleh pendidikan bedah di luar negeri. Eka tak sungkan-sungkan membujuk Iskarno, yang teman mertuanya, bertemu dengan Duta Besar Jerman untuk melancarkan mengambil pendidikan bedah di Jerman. Hal serupa dilakukan saat mendapatkan pendidikan di Jepang.
Sebagai ahli bedah saraf, Eka tergolong hebat karena kala itu ia baru mengenyam pendidikan strata II. Pendidikan doktor baru ia peroleh dari Universitas Hasanuddin, Makassar, tahun lalu. Pengabdiannya di dunia pendidikan ia teruskan dengan menjadi Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Jakarta.
Buku ini juga dilengkapi testimoni dari ahli bedah beragam negara serta foto-foto Eka saat memberikan kuliah dan seminar di berbagai universitas ternama.
AKBAR TRI KURNIAWAN
Sumber :
http://www.tempointeraktif.com/hg/buku/2010/03/15/brk,20100315-232670,id.html
15 Maret 2010
Bali Miliki Pusat Pelatihan Bedah
usat pelatihan khusus untuk bedah bagi para dokter bedah dan para perawat yang disebut Asian Pacific Surgical Training Center (APSTC) telah dibuka di Bali. Pusat pelatihan ini didirikan oleh B.Braun Medical Indonesia, produsen alat-alat teknologi kesehatan asal Jerman.
Pusat pelatihan ini dilengkapi dengan teknologi terbaru dan mutakhir, termasuk peralatan laparascopy pada ruang pelatihan. Teknologi kedokteran, khususnya untuk penanggulangan penyakit jantung koroner, berkembang amat pesat dalam dua dasawarsa terakhir.
Selain bedah bypass jantung dengan mencangkokkan pembuluh darah dari paha untuk menggantikan arteri jantung yang tersumbat, dunia kedokteran terus mengembangkan teknik intervensi koroner yang noninvasif.
Teknik paling populer saat ini adalah intervensi koroner perkutan, yaitu tindakan tanpa operasi yang dilakukan untuk melebarkan penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah koroner (angioplasti koroner atau percutaneous transluminal coronary angioplasty/PTCA) yang diawali dengan penggunaan balon beserta tindakan terkait, seperti pengerokan pembuluh darah, pengeboran pembuluh darah (aterektomi), atau pemasangan stent (bidai) dalam pembuluh darah.
Prof. Aryono D. Pusponegoro, Ketua Kolegium Ilmu Bedah Indonesia, mengatakan, “Training center ini sangat membantu kami para dokter bedah di Indonesia dalam memperluas pengetahuan dan meningkatkan kemampuan khususnya prosedur pembedahan minimal invasif," katanya dalam siaran pers.
“Adanya pusat pelatihan ini diharapkan dapat mensejajarkan kompetensi para dokter bedah Indonesia dengan para dokter bedah lainnya di negara-negara Asia Pasifik, seperti Malaysia, Vietnam, India, dan sebagainya, dan juga dapat meningkatkan kepercayaan pasien-pasien di Indonesia," kata Manogaran Ayalsamy, Presiden direktur PT.B.Braun Medical Indonesia.
Sumber :
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/03/10110663/Bali.Miliki.Pusat.Pelatihan.Bedah.
3 Juli 2010
Pusat pelatihan ini dilengkapi dengan teknologi terbaru dan mutakhir, termasuk peralatan laparascopy pada ruang pelatihan. Teknologi kedokteran, khususnya untuk penanggulangan penyakit jantung koroner, berkembang amat pesat dalam dua dasawarsa terakhir.
Selain bedah bypass jantung dengan mencangkokkan pembuluh darah dari paha untuk menggantikan arteri jantung yang tersumbat, dunia kedokteran terus mengembangkan teknik intervensi koroner yang noninvasif.
Teknik paling populer saat ini adalah intervensi koroner perkutan, yaitu tindakan tanpa operasi yang dilakukan untuk melebarkan penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah koroner (angioplasti koroner atau percutaneous transluminal coronary angioplasty/PTCA) yang diawali dengan penggunaan balon beserta tindakan terkait, seperti pengerokan pembuluh darah, pengeboran pembuluh darah (aterektomi), atau pemasangan stent (bidai) dalam pembuluh darah.
Prof. Aryono D. Pusponegoro, Ketua Kolegium Ilmu Bedah Indonesia, mengatakan, “Training center ini sangat membantu kami para dokter bedah di Indonesia dalam memperluas pengetahuan dan meningkatkan kemampuan khususnya prosedur pembedahan minimal invasif," katanya dalam siaran pers.
“Adanya pusat pelatihan ini diharapkan dapat mensejajarkan kompetensi para dokter bedah Indonesia dengan para dokter bedah lainnya di negara-negara Asia Pasifik, seperti Malaysia, Vietnam, India, dan sebagainya, dan juga dapat meningkatkan kepercayaan pasien-pasien di Indonesia," kata Manogaran Ayalsamy, Presiden direktur PT.B.Braun Medical Indonesia.
Sumber :
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/03/10110663/Bali.Miliki.Pusat.Pelatihan.Bedah.
3 Juli 2010
Bedah Plastik
Bedah plastik adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang bertujuan untuk merekonstruksi atau memperbaiki bagian tubuh manusia melalui operasi kedokteran. Berasal dari kata bahasa Yunani platikos yang berarti "membentuk", asal kata bedah jenis ini sebenarnya tidak diturunkan bahan plastik. Jenis bedah plastik secara umum dibagi dua jenis: pembedahan untuk rekonstruksi dan pembedahan untuk kosmetik. Saat ini terdapat 7 peminatan klinis di bidang bedah plastik, Yakni : Bedah Kraniofasial, Bedah Mikro, Bedah Tangan, Luka Bakar, Rekonstruksi Pascaablasi Tumor, Bedah Genitalia Eksterna dan Bedah Estetika.
Bedah Plastik di Indonesia dirintis oleh Prof. Moenadjat Wiratmadja. Setelah lulus sebagai spesialis bedah dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1958, beliau melanjutkan pendidikan bedah plastik di Washington University / Barnes Hospital di Amerika Serikat hingga tahun 1959. Sepulang dari luar negeri, beliau mulai mengkhususkan diri dalam memberikan pelayanan pada umum dan pendidikan bedah plastik pada mahasiswa dan asisten bedah di FKUI/RSCM. Pada tahun 1979 beliau dikukuhkan sebagai profesor dalam ilmu kedokteran di FKUI. Profesor Moenadjat Wiratmadja wafat pada tahun 1980.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Bedah_plastik
Bedah Plastik di Indonesia dirintis oleh Prof. Moenadjat Wiratmadja. Setelah lulus sebagai spesialis bedah dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1958, beliau melanjutkan pendidikan bedah plastik di Washington University / Barnes Hospital di Amerika Serikat hingga tahun 1959. Sepulang dari luar negeri, beliau mulai mengkhususkan diri dalam memberikan pelayanan pada umum dan pendidikan bedah plastik pada mahasiswa dan asisten bedah di FKUI/RSCM. Pada tahun 1979 beliau dikukuhkan sebagai profesor dalam ilmu kedokteran di FKUI. Profesor Moenadjat Wiratmadja wafat pada tahun 1980.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Bedah_plastik
Bedah Tulang
Total Knee Replacement Atasi Osteoarthritis
Penderita yang mengalami kerusakan pada tulang sendi (osteoarthtritis) kini dapat diatasi dengan total knee replacement. Bahkan sejak tahun 2000, salah satu rumah-sakit di Indonesia, telah melakukan operasi total knee replacement terbanyak di kawasan Asia Tenggara.
Ibarat mesin yang digunakan terus menerus, pada suatu masa akan mengalami gangguan akibat gesekan berulang. Hal yang sama terjadi pada organ tubuh kita, sebut saja sendi. Beda mesin dan tubuh manusia adalah jika kerusakan pada mesin, kita bisa menggantinya dengan spare part atau onderdil baru. Tapi bagaimana jika kerusakan itu terjadi pada sendi atau lutut kita. Apakah kita dapat menggantinya?
Umumnya, sendi lutut terdiri dari tiga bagian, yaitu tulang paha (femur), tulang kering (tibia), dan tempurung lutut (patella). Agar tidak mudah keropos dan melindungi dari gesekan yang terjadi, ketiga jenis tulang itu dilindungi tulang rawan. Selain itu, di antara femur dan tibia terdapat meniscus atau bantalan yang berfungsi sebagai engsel agar mudah melakukan aktivitas.
Meski mempunyai pelindung, berbagai kerusakan dapat terjadi pada tulang sendi (osteoarthtritis). Banyak penyebab osteoarthritis, di antaranya faktor usia, pengapuran, cedera lutut, dan sebagainya.
Indikasi awal osteoarthritis memang tidak sama, tapi pada banyak kasus ditemui gejala awal berupa, timbulnya rasa sakit dan nyeri pada lutut hingga membatasi aktivitas saat berjalan atau beraktivitas lainnya. Jika hal ini dibiarkan, suatu saat akan menimbulkan kekakuan serta ketidakstabilan saat berjalan. Kerusakan yang menonjol secara fisik atau deformitas berupa perubahan bentuk kaki menyerupai huruf ‘O’ atau ‘X’.
Jika kerusakan tidak segera ditindaklanjuti dengan pengobatan atau tindakan medis, dampak terburuk yang terjadi berupa pengikisan permukaan tulang rawan. Akibat pengikisan tersebut, akan memicu reaksi pembentukan tulang rawan baru di sekitar sendi. Pada banyak kasus pertumbuhan itu berada di luar tempurung hingga menyebabkan nyeri. Pembentukan tulang rawan yang tidak sempurna itu disebut juga perkapuran.
Tindakan terhadap pasien yang mengalami perkapuran dapat dilakukan dengan arthroscopic washout untuk mengikis serta membuang bagian tulang rawan serta tonjolan yang terjadi akibat perkapuran. Bahkan jika diperlukan, dapat dilakukan pengeboran (drilling) untuk merangsang pertumbuhan tulang rawan yang terarah di sekitar sendi. Meski demikian tindakan ini hanya dilakukan pada pasien osteoarthritis yang kondisinya belum begitu parah.
“Dalam tindakan arthroscopic, meski dilakukan di ruang operasi, pasien hanya dibius spinal atau lokal. Setelah dibius, dilanjutkan dengan peneropongan ke dalam sendi lutut menggunakan dua buah skop insisi kecil (4 mm). Skop ini juga memiliki kamera sehingga dapat memunculkan gambar pada monitor,” papar Head of Department Orthopaedic Surgery Rumah Sakit Medistra, dr Nicolaas C. Budhiparama, Jr.F.I.C.S.
Meski dilakukan dalam ruang operasi, lanjut dr. Nicolaas, dalam melakukan arthroscopic washout, pasien tetap dalam keadaan sadar. Bahkan dapat menyaksikan operasi lewat monitor. Setelah operasi selesai, umumnya pasien dapat langsung berjalan. Tapi, agar tidak menimbulkan cedera atau hal-hal yang tidak diinginkan pasca operasi, disarankan untuk memakai tongkat dalam beberapa minggu.
Sedangkan untuk perkapuran stadium lanjut atau grade IV, biasanya disertai dengan perubahan bentuk fisik dari kaki menyerupai huruf ‘O’ atau ‘X’. Jika hal itu terjadi, tindakan arthroscopic washout tidak banyak membantu. Sebab kerusakan itu menimbulkan kecacatan atau perubahan bentuk fisik kaki. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah total knee replacement atau mengganti sendi lutut menggunakan prothese. Meski lutut aritifisial tidak sempurna seperti sebelumnya, tapi operasi itu akan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan hilangnya rasa nyeri, kekakuan sendi, dan bentuk sendi lutut yang bengkok.
“Total knee replacement biasanya dilakukan pada penderita osteoarthritis berat. Sebagian besar pasien yang mendapatkan lutut artifisial berusia di atas 50 tahun, tetapi bukan tidak mungkin ada penderita yang usianya lebih muda karena mengalami kasus khusus,” tambah dr.Nicoolaas.
Meski kerusakan sendi dapat diatasi dengan total knee replacement, tapi tindakan itu mengandung risiko. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi setelah operasi penggantian sendi adalah, nabloding (infeksi akibat dari pembalutan yang berlapis-lapis), atau thrombosis (pembekuan darah di sekitar bidang operasi), prothese lepas (akibat infeksi atau tidak kuatnya phrotesa menanggung beban berat badan penderita serta akibat dari aktivitas yang dilakukan penderita).
Karena itu, proses penggantian sendi lutut harus dilakukan dokter ahli dan kompeten di bidangnya. Selain itu, dengan tingkat kesulitan sangat tinggi, juga dituntut ketelitian dan kerapian dokter dalam melakukan operasi.
“Secara teknis setelah terpasang, prosthese dapat bertahan antara 15-20 tahun. Tapi dengan alasan tertentu, total knee ini tidak bisa dilakukan pada orang yang sangat gemuk atau usianya yang masih terlalu muda. Jika prosthese sampai loose, hal itu akan berakibat rasa sakit. Meski dapat diganti, tetapi operasi yang kedua hasilnya tidak sebaik operasi yang pertama,” ujar Dr Nicolaas.
Karena itu dalam proses total knee replacement harus dilakukan dengan hati-hati dan tingkat presisi sangat tinggi. Untuk membantu dokter dalam hal akurasi itu diperlukan alat Bantu. Alat bantu tersebut seperti yang digunakan dokter dalam melakukan operasi sendi di RS Medistra adalah robot surgery.
“Tahun 2006 ini, RS Medistra menjadi rumah-sakit pertama di Indonesia yang melakukan operasi pemasangan prosthese di antara sendi lutut dan arthroscopic washout dengan bantuan komputer atau robotic surgery. Dengan dukungan alat ini, hasil dan ketepatan operasi mendekati sempurna. Hal nyata adalah sayatan luka atau insisi juga dapat diperkecil atau minimally invasive surgery,” jelas dr Nicolaas lagi.
Perlu diketahui, sejak tahun 2000, RS Medistra telah melakukan operasi total knee replacement terbanyak di kawasan Asia Tenggara. Bahkan tahun 2004 RS Medistra menjadi rumah-sakit pertama di Asia Pasifik yang mempelopori penggunaan robotic surgery computer guidance dalam melakukan operasi.
PENGGABUNGAN DUA TEKNIK BEDAH BERIKAN HASIL YANG LEBIH BAIK BAGI PASIEN OSTEOARTHRITIS
Penggabungan dua teknik bedah Minimally Invasive Surgery (MIS) dan Computer Assisted Surgery (CAS) ini merupakan metode bedah ringan yang menghasilkan waktu penyembuhan yang lebih singkat dan penempatan implan lutut yang lebih akurat pada pasien osteoarthritis¹.
Pada metode MIS, goresan pembedahan dibuat lebih kecil, sehingga meminimalisasi jumlah darah yang hilang dan luka di jaringan sekitar lutut. Dengan menggunakan metode CAS, ahli bedah dapat mengacu pada citra digital yang ada dalam membantu menempatkan implan pada lutut dan meluruskan bagian sendi secara akurat.
Karena pasien yang berusia di bawah 65 tahun lebih aktif sehingga implan yang digunakan lebih cepat usang, maka tingkat keusangan dari implan lutut yang mereka kenakan di tahun ke 10 menjadi tiga kali lebih besar dibandingan pada pasien yang berusia diatas 75 tahun. Teknik terbaru ini akan menguntungkan mayoritas pasien yang menjalani bedah lutut pada usia rata-rata 65 tahun.
Dr. Yeo Seng Jin, Konsultan Senior Bedah Ortopedik dari Departemen Bedah Ortopedi: Adult Reconstruction Service di Singapore General Hospital (SGH) dan Dr. Nicolaas C. Budhiparama, Jr. Kepala Departemen Ortopedik dari RS Medistra berbagi ilmu dan pengalaman terbaiknya pada acara diskusi di Jakarta hari ini.
Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Yeo, pasien bisa mendapatkan lebih banyak manfaat dari tehnik bedah gabungan terbaru, yakni MIS-CAS dibandingkan dengan metode penggantian lutut standar.
Dr. Yeo menambahkan, “Pasien tersebut mengalami sedikit kehilangan darah, proses pemulihan fungsi lutut menjadi lebih cepat dan waktu rawat inap lebih singkat yakni tiga hari. Setelah satu bulan, sebagian besar pasien dapat berjalan lebih jauh dan kebanyakan dari mereka tidak lagi membutuhkan alat bantu untuk berjalan. Yang lebih penting adalah, hasil sinar X-ray dari pasien memperlihatkan bahwa posisi implan lebih baik.”
Saat ini, Dr. Nicolaas menjalankan prosedur ini di Indonesia dan menganjurkan tehnik inovatif ini kepada para pasien osteoarthritis yang menginginkan kualitas hidup yang lebih baik. Dr. Nicolaas menjelaskan, “Pasien hanya sedikit merasa sakit dan dengan penempatan implan lutut yang akurat ini, dapat dipastikan bahwa implan tersebut akan dapat bertahan lebih lama.”
Dr. Nicolaas menambahkan, “Dengan penggunaan teknologi komputer, ahli bedah dapat menentukan keputusan penting berdasarkan informasi akurat mengenai sistem, sudut, posisi anatomi, deviasi antara posisi implan dan tulang.”
Teknik khusus ini sudah tersedia di beberapa rumah sakit tertentu di Indonesia, Singapura dan beberapa negara lainnya.
Sumber :
http://www.medistra.com/index.php?option=com_content&view=article&id=62&Itemid=66
22 Agustus 2010
Penderita yang mengalami kerusakan pada tulang sendi (osteoarthtritis) kini dapat diatasi dengan total knee replacement. Bahkan sejak tahun 2000, salah satu rumah-sakit di Indonesia, telah melakukan operasi total knee replacement terbanyak di kawasan Asia Tenggara.
Ibarat mesin yang digunakan terus menerus, pada suatu masa akan mengalami gangguan akibat gesekan berulang. Hal yang sama terjadi pada organ tubuh kita, sebut saja sendi. Beda mesin dan tubuh manusia adalah jika kerusakan pada mesin, kita bisa menggantinya dengan spare part atau onderdil baru. Tapi bagaimana jika kerusakan itu terjadi pada sendi atau lutut kita. Apakah kita dapat menggantinya?
Umumnya, sendi lutut terdiri dari tiga bagian, yaitu tulang paha (femur), tulang kering (tibia), dan tempurung lutut (patella). Agar tidak mudah keropos dan melindungi dari gesekan yang terjadi, ketiga jenis tulang itu dilindungi tulang rawan. Selain itu, di antara femur dan tibia terdapat meniscus atau bantalan yang berfungsi sebagai engsel agar mudah melakukan aktivitas.
Meski mempunyai pelindung, berbagai kerusakan dapat terjadi pada tulang sendi (osteoarthtritis). Banyak penyebab osteoarthritis, di antaranya faktor usia, pengapuran, cedera lutut, dan sebagainya.
Indikasi awal osteoarthritis memang tidak sama, tapi pada banyak kasus ditemui gejala awal berupa, timbulnya rasa sakit dan nyeri pada lutut hingga membatasi aktivitas saat berjalan atau beraktivitas lainnya. Jika hal ini dibiarkan, suatu saat akan menimbulkan kekakuan serta ketidakstabilan saat berjalan. Kerusakan yang menonjol secara fisik atau deformitas berupa perubahan bentuk kaki menyerupai huruf ‘O’ atau ‘X’.
Jika kerusakan tidak segera ditindaklanjuti dengan pengobatan atau tindakan medis, dampak terburuk yang terjadi berupa pengikisan permukaan tulang rawan. Akibat pengikisan tersebut, akan memicu reaksi pembentukan tulang rawan baru di sekitar sendi. Pada banyak kasus pertumbuhan itu berada di luar tempurung hingga menyebabkan nyeri. Pembentukan tulang rawan yang tidak sempurna itu disebut juga perkapuran.
Tindakan terhadap pasien yang mengalami perkapuran dapat dilakukan dengan arthroscopic washout untuk mengikis serta membuang bagian tulang rawan serta tonjolan yang terjadi akibat perkapuran. Bahkan jika diperlukan, dapat dilakukan pengeboran (drilling) untuk merangsang pertumbuhan tulang rawan yang terarah di sekitar sendi. Meski demikian tindakan ini hanya dilakukan pada pasien osteoarthritis yang kondisinya belum begitu parah.
“Dalam tindakan arthroscopic, meski dilakukan di ruang operasi, pasien hanya dibius spinal atau lokal. Setelah dibius, dilanjutkan dengan peneropongan ke dalam sendi lutut menggunakan dua buah skop insisi kecil (4 mm). Skop ini juga memiliki kamera sehingga dapat memunculkan gambar pada monitor,” papar Head of Department Orthopaedic Surgery Rumah Sakit Medistra, dr Nicolaas C. Budhiparama, Jr.F.I.C.S.
Meski dilakukan dalam ruang operasi, lanjut dr. Nicolaas, dalam melakukan arthroscopic washout, pasien tetap dalam keadaan sadar. Bahkan dapat menyaksikan operasi lewat monitor. Setelah operasi selesai, umumnya pasien dapat langsung berjalan. Tapi, agar tidak menimbulkan cedera atau hal-hal yang tidak diinginkan pasca operasi, disarankan untuk memakai tongkat dalam beberapa minggu.
Sedangkan untuk perkapuran stadium lanjut atau grade IV, biasanya disertai dengan perubahan bentuk fisik dari kaki menyerupai huruf ‘O’ atau ‘X’. Jika hal itu terjadi, tindakan arthroscopic washout tidak banyak membantu. Sebab kerusakan itu menimbulkan kecacatan atau perubahan bentuk fisik kaki. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah total knee replacement atau mengganti sendi lutut menggunakan prothese. Meski lutut aritifisial tidak sempurna seperti sebelumnya, tapi operasi itu akan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan hilangnya rasa nyeri, kekakuan sendi, dan bentuk sendi lutut yang bengkok.
“Total knee replacement biasanya dilakukan pada penderita osteoarthritis berat. Sebagian besar pasien yang mendapatkan lutut artifisial berusia di atas 50 tahun, tetapi bukan tidak mungkin ada penderita yang usianya lebih muda karena mengalami kasus khusus,” tambah dr.Nicoolaas.
Meski kerusakan sendi dapat diatasi dengan total knee replacement, tapi tindakan itu mengandung risiko. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi setelah operasi penggantian sendi adalah, nabloding (infeksi akibat dari pembalutan yang berlapis-lapis), atau thrombosis (pembekuan darah di sekitar bidang operasi), prothese lepas (akibat infeksi atau tidak kuatnya phrotesa menanggung beban berat badan penderita serta akibat dari aktivitas yang dilakukan penderita).
Karena itu, proses penggantian sendi lutut harus dilakukan dokter ahli dan kompeten di bidangnya. Selain itu, dengan tingkat kesulitan sangat tinggi, juga dituntut ketelitian dan kerapian dokter dalam melakukan operasi.
“Secara teknis setelah terpasang, prosthese dapat bertahan antara 15-20 tahun. Tapi dengan alasan tertentu, total knee ini tidak bisa dilakukan pada orang yang sangat gemuk atau usianya yang masih terlalu muda. Jika prosthese sampai loose, hal itu akan berakibat rasa sakit. Meski dapat diganti, tetapi operasi yang kedua hasilnya tidak sebaik operasi yang pertama,” ujar Dr Nicolaas.
Karena itu dalam proses total knee replacement harus dilakukan dengan hati-hati dan tingkat presisi sangat tinggi. Untuk membantu dokter dalam hal akurasi itu diperlukan alat Bantu. Alat bantu tersebut seperti yang digunakan dokter dalam melakukan operasi sendi di RS Medistra adalah robot surgery.
“Tahun 2006 ini, RS Medistra menjadi rumah-sakit pertama di Indonesia yang melakukan operasi pemasangan prosthese di antara sendi lutut dan arthroscopic washout dengan bantuan komputer atau robotic surgery. Dengan dukungan alat ini, hasil dan ketepatan operasi mendekati sempurna. Hal nyata adalah sayatan luka atau insisi juga dapat diperkecil atau minimally invasive surgery,” jelas dr Nicolaas lagi.
Perlu diketahui, sejak tahun 2000, RS Medistra telah melakukan operasi total knee replacement terbanyak di kawasan Asia Tenggara. Bahkan tahun 2004 RS Medistra menjadi rumah-sakit pertama di Asia Pasifik yang mempelopori penggunaan robotic surgery computer guidance dalam melakukan operasi.
PENGGABUNGAN DUA TEKNIK BEDAH BERIKAN HASIL YANG LEBIH BAIK BAGI PASIEN OSTEOARTHRITIS
Penggabungan dua teknik bedah Minimally Invasive Surgery (MIS) dan Computer Assisted Surgery (CAS) ini merupakan metode bedah ringan yang menghasilkan waktu penyembuhan yang lebih singkat dan penempatan implan lutut yang lebih akurat pada pasien osteoarthritis¹.
Pada metode MIS, goresan pembedahan dibuat lebih kecil, sehingga meminimalisasi jumlah darah yang hilang dan luka di jaringan sekitar lutut. Dengan menggunakan metode CAS, ahli bedah dapat mengacu pada citra digital yang ada dalam membantu menempatkan implan pada lutut dan meluruskan bagian sendi secara akurat.
Karena pasien yang berusia di bawah 65 tahun lebih aktif sehingga implan yang digunakan lebih cepat usang, maka tingkat keusangan dari implan lutut yang mereka kenakan di tahun ke 10 menjadi tiga kali lebih besar dibandingan pada pasien yang berusia diatas 75 tahun. Teknik terbaru ini akan menguntungkan mayoritas pasien yang menjalani bedah lutut pada usia rata-rata 65 tahun.
Dr. Yeo Seng Jin, Konsultan Senior Bedah Ortopedik dari Departemen Bedah Ortopedi: Adult Reconstruction Service di Singapore General Hospital (SGH) dan Dr. Nicolaas C. Budhiparama, Jr. Kepala Departemen Ortopedik dari RS Medistra berbagi ilmu dan pengalaman terbaiknya pada acara diskusi di Jakarta hari ini.
Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Yeo, pasien bisa mendapatkan lebih banyak manfaat dari tehnik bedah gabungan terbaru, yakni MIS-CAS dibandingkan dengan metode penggantian lutut standar.
Dr. Yeo menambahkan, “Pasien tersebut mengalami sedikit kehilangan darah, proses pemulihan fungsi lutut menjadi lebih cepat dan waktu rawat inap lebih singkat yakni tiga hari. Setelah satu bulan, sebagian besar pasien dapat berjalan lebih jauh dan kebanyakan dari mereka tidak lagi membutuhkan alat bantu untuk berjalan. Yang lebih penting adalah, hasil sinar X-ray dari pasien memperlihatkan bahwa posisi implan lebih baik.”
Saat ini, Dr. Nicolaas menjalankan prosedur ini di Indonesia dan menganjurkan tehnik inovatif ini kepada para pasien osteoarthritis yang menginginkan kualitas hidup yang lebih baik. Dr. Nicolaas menjelaskan, “Pasien hanya sedikit merasa sakit dan dengan penempatan implan lutut yang akurat ini, dapat dipastikan bahwa implan tersebut akan dapat bertahan lebih lama.”
Dr. Nicolaas menambahkan, “Dengan penggunaan teknologi komputer, ahli bedah dapat menentukan keputusan penting berdasarkan informasi akurat mengenai sistem, sudut, posisi anatomi, deviasi antara posisi implan dan tulang.”
Teknik khusus ini sudah tersedia di beberapa rumah sakit tertentu di Indonesia, Singapura dan beberapa negara lainnya.
Sumber :
http://www.medistra.com/index.php?option=com_content&view=article&id=62&Itemid=66
22 Agustus 2010
Bedah Caesar Terencana, Bahayakan Kondisi Bayi
Bayi yang dilahirkan melalui bedah caesar yang direncanakan tampaknya lebih sering dikirim ke unit perawatan intensif, untuk kelahiran yang direncanakan, dan mengalami gangguan paru-paru dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan secara alami, menurut penemuan yang diterbitkan oleh American Journal of Obstretric and Gynecology.
"Meningkatnya kelahiran melalui bedah caesar di dunia telah menjadi perdebatan secara luas," kata Dr Toril Kolas dari Rumah Sakit Innlandet, Lillehammer, Norwegia, dan rekan penulisnya.
Para peneliti telah menguji hasil persalinan dalam periode 6 bulan, bersamaan dengan data cara melahirkan yang diinginkan dari catatan pendaftaran kelahiran Norwegia. Dari 18.653 kelahiran di Norwegia, 17.828 ibu melahirkan secara alami dan 825 melahirkan melalui bedah cesar.
Dari data tersebut angka pengiriman ke unit perawatan intensif untuk melahirkan secara alami mencapai 5,2%, lebih rendah secara dibandingkan melahirkan melalui bedah caesar yang mencapai 9,8%. Sedangkan gangguan paru-paru dari melahirkan secara alami hanya 0,8%, lebih rendah dibandingkan dengan melahirkan melalui bedah cesar yang mencapai 1,6%.
"Untuk anak, (ketahanan) mental bagi anak yang dilahirkan secera alami terlihat lebih hebat dibandingkan mereka yang dilahirkan melalui bedah caesar di berbagai situasi," demikian kesimpulan Kolas dan rekannya.
"Untuk itu, kita menggarisbawahi pentingnya pembatasan kelahiran yang direncanakan melalui bedah caesar, dimana kelahiran alami lebih menguntungkan baik bagi ibu maupun anaknya," tambah mereka. "Ketika bedah caesar dipilih, operasinya harus sedekat mungkin dengan kondisi (akan melahirkan)." (*/bun)
Sumber :
http://www.kapanlagi.com/a/old/bedah-caesar-terencana-bahayakan-kondisi-bayi.html
9 Januari 2007
"Meningkatnya kelahiran melalui bedah caesar di dunia telah menjadi perdebatan secara luas," kata Dr Toril Kolas dari Rumah Sakit Innlandet, Lillehammer, Norwegia, dan rekan penulisnya.
Para peneliti telah menguji hasil persalinan dalam periode 6 bulan, bersamaan dengan data cara melahirkan yang diinginkan dari catatan pendaftaran kelahiran Norwegia. Dari 18.653 kelahiran di Norwegia, 17.828 ibu melahirkan secara alami dan 825 melahirkan melalui bedah cesar.
Dari data tersebut angka pengiriman ke unit perawatan intensif untuk melahirkan secara alami mencapai 5,2%, lebih rendah secara dibandingkan melahirkan melalui bedah caesar yang mencapai 9,8%. Sedangkan gangguan paru-paru dari melahirkan secara alami hanya 0,8%, lebih rendah dibandingkan dengan melahirkan melalui bedah cesar yang mencapai 1,6%.
"Untuk anak, (ketahanan) mental bagi anak yang dilahirkan secera alami terlihat lebih hebat dibandingkan mereka yang dilahirkan melalui bedah caesar di berbagai situasi," demikian kesimpulan Kolas dan rekannya.
"Untuk itu, kita menggarisbawahi pentingnya pembatasan kelahiran yang direncanakan melalui bedah caesar, dimana kelahiran alami lebih menguntungkan baik bagi ibu maupun anaknya," tambah mereka. "Ketika bedah caesar dipilih, operasinya harus sedekat mungkin dengan kondisi (akan melahirkan)." (*/bun)
Sumber :
http://www.kapanlagi.com/a/old/bedah-caesar-terencana-bahayakan-kondisi-bayi.html
9 Januari 2007
Bedah Plastik & Pergeserannya
Bedah plastik yang makin berkembang dan menjadi tren di sebagian masyarakat Indonesia, ternyata tidak diikuti dengan pemahaman yang cukup tentang fungsi bedah plastik itu sendiri.
Sejak operasi face off Siti Nurjazilah alias Lisa, yang dilakukan RSUD dr. Soetomo, nama bedah plastic makin trend di kalangan wanita, maupun pria. Biasanya mereka datang dengan keluhan kantung mata, meminta liposuction atau sedot lemak, dan membuat kantong mata.
Seperti yang ditegaskan oleh dr Djoned Sananto SpBP, Spesialis Bedah Plastik Estetik dan Rekonstruksi RS Siloam Gleneageles (Budi Mulia) Surabaya, sebelum seminar pada Minggu (14/5) besok, operasi bedah plastik bukanlah sulap.
“Jangan mengharapkan hasil yang sekejap dan perubahan drastis setelah operasi. Kebanyakan pasien menginginkan hasil yang instan. Tak sedikit pula yang menginginkan perubahan drastis bagian tubuhnya melalui operasi bedah plastik.
Padahal semua sudah ada porsinya. Itu pemahaman yang harus diluruskan. Selain itu, yang dulunya orang hanya ingin membuat hidung mancung dan membuat lipatan mata, bagi mata sipit, tapi sekarang lebih mengarah ke sedot lemak, dan membuat kantong mata,” kata Djoned Sananto panjang lebar.
Pasien yang datang pun beragam, tidak hanya wanita, tapi juga pria. Pihaknya mengasumsikan dalam seminggu, mampu menangani lima hingga sepuluh pasien. Mereka rata-rata berumur 40 tahun keatas, didominasi kalangan menengah atas.
Namun, ada pula pasien yang datang berusia 21 tahun. Pasien yang meminta jasa bedah plastik pun, umumnya disamping karena ingin mempercantik atau estetika, juga karena luka atau lazim disebut rekonstruksi.
Selain bukan sulap, sambung Djoned, operasi bedah plastik harus dilakukan oleh yang benar-benar ahlinya, tidak bisa sembarangan praktisi kecantikan yang sebenarnya tidak menguasai bidang bedah plastik, meski hanya bedah plastik estetik ringan. Sementara kondisi yang ada, tidak banyak salon kecantikan di Indonesia, khususnya di Surabaya, yang juga menyediakan dokter ahli bedah plastik.
“Harus ada pengawasan dari dokter ahli. Sebab tindakan ringan sekalipun jika tidak dilakukan sesuai prosedur, tetap beresiko. Di Brazil yang sangat terkenal dengan teknologi bedah plastiknya, sudah ada UU yang mengatur dengan tegas soal tindakan bedah plastik tapi di sini belum ada,” tegas Djoned.
Sedot lemak, kata dia, juga punya batasan, yaitu lemak yang diambil harus enam kilogram, dalam setiap kali sedot, karena bila tidak, akan terjadi perdarahan, ataupun hal lain yang membahayakan nyawa pasien. Itupun, lanjut dia, jaraknya harus tiga hingga enam bulan dari sedot lemak berikutnya.
Pergeseran ini, kata dia, terjadi karena wawasan masyarakat terhadap bedah plastik semakin tinggi. Meski masih saja ada masyarakat yang masih bingung dan malu bertanya kemana mendapatkan informasi bedah plastik.
“Untuk itu, kita secara rutin mensosialisasikan bedah plastik pada masyarakat. Bedah plastik bukan lagi sesuatu yang ekslusif, mudah dicapai asal pasien tetap realistik. Soal tarifnya relatif dan Siloam Hospital mempunyai tarif paket bedah plastik tersendiri,”ujarnya.
Namun, meski menjadi trend, untuk dijadikan lahan bisnis, masih terasa sulit. Pasalnya, dokter lebih mengutamakan kebutuhan pasien dibandingkan penghargaan terhadap jasa yang diberikan.
Seperti yang diungkapkan mengatakan, bahwa memilih bedah plastic, bukan ditujukan pada bisnis jasa, tapi bagaimana menolong pasien, agar lebih percaya diri dan menutupi kekurangan yang dirasakan pasien.
Hal senada juga diungkapkan dr.Tjandra Purnawan, SpBP, bahwa lebih mengutamakan profesionalisme. “Biasanya tarif untuk bedah plastic, seperti membuat lipatan mata atau kasus ringan lainnya, antara Indonesia dengan Singapura, bisa dua kali lipat. Lebih murah di Indonesia meski teknik yang digunakan hampir sama. Tapi yang jelas, kita membantu pasien sesuai spesialisasi kita sebagai dokter bedah plastik,”jelasnya.
Menurut Djoned, hal yang perlu diwaspadai dalam bidang bedah plastik antara lain adalah kemunculan keloid. Boleh dikatakan keloid adalah mimpi terburuk dalam dunia bedah plastik. Sebab, kemunculannya sendiri tidak bisa ditebak, dan bisa muncul sesudah tindakan perlukaan kulit.
Sampai saat ini, dunia kedokteran bedah sendiri belum menemukan penyebab pasti adanya keloid. Hanya saja, keloid bisa diminimalisir wilayah penyebarannya dengan suntikan kortiko steroid.
“Dalam keloid sendiri yang perlu diwaspadai adalah adanya zat yang sifatnya seperti kanker disebut oncogene yang bisa berkembang. Jika bekas luka lama terasa nyeri, panas, atau gatal yang mengganggu, sebaiknya perlu diwaspadai sebagai gejala keloid,” jelas Djoned, yang rencananya segera berangkat ke Singapura untuk presentasi penelitian yang dibuatnya tentang keloid.
Sumber :
Suster Icha
http://icha.blogdetik.com/2008/03/15/bedah-plastik-pergeserannya/
15 Maret 2008
Sejak operasi face off Siti Nurjazilah alias Lisa, yang dilakukan RSUD dr. Soetomo, nama bedah plastic makin trend di kalangan wanita, maupun pria. Biasanya mereka datang dengan keluhan kantung mata, meminta liposuction atau sedot lemak, dan membuat kantong mata.
Seperti yang ditegaskan oleh dr Djoned Sananto SpBP, Spesialis Bedah Plastik Estetik dan Rekonstruksi RS Siloam Gleneageles (Budi Mulia) Surabaya, sebelum seminar pada Minggu (14/5) besok, operasi bedah plastik bukanlah sulap.
“Jangan mengharapkan hasil yang sekejap dan perubahan drastis setelah operasi. Kebanyakan pasien menginginkan hasil yang instan. Tak sedikit pula yang menginginkan perubahan drastis bagian tubuhnya melalui operasi bedah plastik.
Padahal semua sudah ada porsinya. Itu pemahaman yang harus diluruskan. Selain itu, yang dulunya orang hanya ingin membuat hidung mancung dan membuat lipatan mata, bagi mata sipit, tapi sekarang lebih mengarah ke sedot lemak, dan membuat kantong mata,” kata Djoned Sananto panjang lebar.
Pasien yang datang pun beragam, tidak hanya wanita, tapi juga pria. Pihaknya mengasumsikan dalam seminggu, mampu menangani lima hingga sepuluh pasien. Mereka rata-rata berumur 40 tahun keatas, didominasi kalangan menengah atas.
Namun, ada pula pasien yang datang berusia 21 tahun. Pasien yang meminta jasa bedah plastik pun, umumnya disamping karena ingin mempercantik atau estetika, juga karena luka atau lazim disebut rekonstruksi.
Selain bukan sulap, sambung Djoned, operasi bedah plastik harus dilakukan oleh yang benar-benar ahlinya, tidak bisa sembarangan praktisi kecantikan yang sebenarnya tidak menguasai bidang bedah plastik, meski hanya bedah plastik estetik ringan. Sementara kondisi yang ada, tidak banyak salon kecantikan di Indonesia, khususnya di Surabaya, yang juga menyediakan dokter ahli bedah plastik.
“Harus ada pengawasan dari dokter ahli. Sebab tindakan ringan sekalipun jika tidak dilakukan sesuai prosedur, tetap beresiko. Di Brazil yang sangat terkenal dengan teknologi bedah plastiknya, sudah ada UU yang mengatur dengan tegas soal tindakan bedah plastik tapi di sini belum ada,” tegas Djoned.
Sedot lemak, kata dia, juga punya batasan, yaitu lemak yang diambil harus enam kilogram, dalam setiap kali sedot, karena bila tidak, akan terjadi perdarahan, ataupun hal lain yang membahayakan nyawa pasien. Itupun, lanjut dia, jaraknya harus tiga hingga enam bulan dari sedot lemak berikutnya.
Pergeseran ini, kata dia, terjadi karena wawasan masyarakat terhadap bedah plastik semakin tinggi. Meski masih saja ada masyarakat yang masih bingung dan malu bertanya kemana mendapatkan informasi bedah plastik.
“Untuk itu, kita secara rutin mensosialisasikan bedah plastik pada masyarakat. Bedah plastik bukan lagi sesuatu yang ekslusif, mudah dicapai asal pasien tetap realistik. Soal tarifnya relatif dan Siloam Hospital mempunyai tarif paket bedah plastik tersendiri,”ujarnya.
Namun, meski menjadi trend, untuk dijadikan lahan bisnis, masih terasa sulit. Pasalnya, dokter lebih mengutamakan kebutuhan pasien dibandingkan penghargaan terhadap jasa yang diberikan.
Seperti yang diungkapkan mengatakan, bahwa memilih bedah plastic, bukan ditujukan pada bisnis jasa, tapi bagaimana menolong pasien, agar lebih percaya diri dan menutupi kekurangan yang dirasakan pasien.
Hal senada juga diungkapkan dr.Tjandra Purnawan, SpBP, bahwa lebih mengutamakan profesionalisme. “Biasanya tarif untuk bedah plastic, seperti membuat lipatan mata atau kasus ringan lainnya, antara Indonesia dengan Singapura, bisa dua kali lipat. Lebih murah di Indonesia meski teknik yang digunakan hampir sama. Tapi yang jelas, kita membantu pasien sesuai spesialisasi kita sebagai dokter bedah plastik,”jelasnya.
Menurut Djoned, hal yang perlu diwaspadai dalam bidang bedah plastik antara lain adalah kemunculan keloid. Boleh dikatakan keloid adalah mimpi terburuk dalam dunia bedah plastik. Sebab, kemunculannya sendiri tidak bisa ditebak, dan bisa muncul sesudah tindakan perlukaan kulit.
Sampai saat ini, dunia kedokteran bedah sendiri belum menemukan penyebab pasti adanya keloid. Hanya saja, keloid bisa diminimalisir wilayah penyebarannya dengan suntikan kortiko steroid.
“Dalam keloid sendiri yang perlu diwaspadai adalah adanya zat yang sifatnya seperti kanker disebut oncogene yang bisa berkembang. Jika bekas luka lama terasa nyeri, panas, atau gatal yang mengganggu, sebaiknya perlu diwaspadai sebagai gejala keloid,” jelas Djoned, yang rencananya segera berangkat ke Singapura untuk presentasi penelitian yang dibuatnya tentang keloid.
Sumber :
Suster Icha
http://icha.blogdetik.com/2008/03/15/bedah-plastik-pergeserannya/
15 Maret 2008
Perawatan Bedah Saraf Pediatrik
Perawatan bedah-saraf pediatrik menggabungkan keterampilan perawat bedah-saraf yang menguasai tehnik yang canggih dengan keterampilan perawat pediatrik yang memahami kebutuhan anak. Apakah perawatan dilakukan diruang gawat darurat, ruang rawat intensif, perawatan neonatal atau unit perawatan umum, terdapat prinsip bedah-saraf dasar yang harus dipikirkan dalam memberikan perawatan paripurna bagi anak. Perawat bedah-saraf harus cakap dalam menilai dan memberikan interpretasi atas beberapa tanda neurologis dan atas reaksi terhadap terapi. Penilaian perawat pediatrik menjadi sulit karena variasi umur, tingkat perkembangan serta derajat kecemasan anak. Walau tingkat perawatan bedah-saraf tidak terlalu rumit diruang perawatan umum dibanding diruang perawatan kritis, tanda-tanda perburukan status neurologis tetap dapat terjadi setiap saat bahkan pada pasien yang sebelumnya stabil. Karenanya semua perawat harus mampu mengidentifikasikan perubahan penting pada pasien bedah-saraf dan segera memberitahukan dokternya sebelum terjadi perburukan serius atau kerusakan otak yang irreversibel.
FUNGSI UMUM OTAK.
Beberapa pengetahuan anatomi fungsional otak dan saraf kranial memungkinkan perawat memahami disfungsi neurologis (tabel). Bagian posterior lobus frontal (korteks motor) mengatur gerak otot volunter. Bicara terganggu bila kelainan pada hemisfer dominan. Bagian anterior lobus frontal mengatur keadaan emosi anak serta kegiatan intelektual yang kompleks. Anak yang menunjukkan agitasi, bingung dan menunjukkan respons emosi yang tidak lazim mungkin mempunyai gangguan pada bagian anterior lobus frontal.
Lobus parietal menginterpretasikan impuls sensori yang diperlukan untuk mengenali objek. Contohnya anak yang kesulitan mengenal benda yang diletakkan digenggamannya ketika matanya ditutup menunjukkan tanda-tanda kerusakan lobus parietal.
Lobus temporal adalah pusat pendengaran dan memungkinkan anak menerima dan mengartikan pembicaraan. Afasia reseptif auditori menunjukkan gangguan lobus temporal dominan.
Lobus oksipital menerima dan menginterpretasikan rangsang visual. Karenanya bila terjadi defek lapang pandang, mungkin akibat gangguan pada lobus oksipital.
Talamus sering dikatakan sebagai stasiun relai sensori otak. Ia juga membedakan antara sensasi menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Hipotalamus adalah bagian pusat dari sistem saraf otonom. Anak dengan gangguan hipotalamus mungkin menampilkan gangguan metabolisme, pertumbuhan, kematangan seksual, suhu tubuh, tekanan darah, pola tidur serta respons viseral dan emosional lainnya.
Batang otak (otak tengah, pons dan medulla oblongata) merupakan jalur penghantar antara kord spinal dengan bagian lain otak. Juga mempunyai 10 inti saraf kranial, nomor 3 hingga 12. Batang otak memiliki formasi retikuler yang berfungsi sebagai sistem kesadaran yang merupakan anyaman jaringan sel-sel otak dan serabut saraf. Bila anak dalam koma, mungkin formasi retikuler sudah terganggu.
Ataksia atau gerakan yang tidak terkoordinasi menunjukkan terganggunya serebelum yang merupakan pusat keseimbangan dan koordinasi.
Tabel : Saraf –saraf otak, lokasi dan fungsi.
Saraf/ Fungsi/ Lokasi inti
I Olfaktori/ Penciuman/ Anterior Lobus Frontal
II Optik/ Penglihatan/ Talamus
III Okulomotor/ Gerak mata/ Otak tengah
IV Trokhlear/ Gerak mata/ Otak tengah
V Trigeminal/ Mengunyah/ Sensasi wajah, gigi,kulit kepala/ Pons
VI Abdusen/ Gerak mata/ Pons
VII Fasial/ Ekspresi wajah, Rasa, kelenjar ludah dan air mata/ Pons
VIII Akustik/ Mendengar, Rasa keseimbangan/ Medulla
IX Glossofaring/ Sekresi ludah,Gerak menelan.Sensasi tenggorokan, Rasa/ Medulla
X Vagus/ Menelan, bersuara,Memperlambat denyut jantung dan mempercepat peristaltik/ Medulla
XI Aksesori spinal/ Gerak bahu, Rotasi leher/ Medulla
XII Hipoglosal/ Gerak lidah/ Medulla
PENILAIAN STATUS NEUROLOGIS
Karena perawat lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pasien, observasi mereka sangat penting dalam menilai perubahan status neurologis. Catatan dasar neurologis sederhana memungkinkan perawat membandingkan perubahan neurologis yang terjadi. Memastikan pasien stabil, memburuk atau membaik akan menentukan arah pengelolaan pasien. Agar kosisten dalam membandingkan, dipakai format standar seperti GCS. Untuk menilai pasien secara tepat, perawat harus memahami 4 komponen penilaian neurologis praktis : tingkat kesadaran, fungsi motor, reaksi pupil, respirasi beserta tanda vital lainnya.
Tingkat kesadaran adalah indikator terpenting dari fungsi otak pasien dan biasanya memberikan pertanda pertama bahwa kondisi pasien memburuk. Tingkat kesadaran bervariasi dari sadar penuh, mengantuk, gelisah atau tidak bereaksi. Bila sadar penuh, pasien dapat menjawab pertanyaan dengan benar dan bisa berorientasi atas waktu, tempat dan orang. Pada pasien praverbal, gunakan GCS dengan modifikasi pada unsur verbal. Untuk menilai kesadaran terhadap lingkungan dan refleks, refleks isap bisa membatu menetukan derajat respons pasien. Tahap pertama perburukan diketahui bila anak menjadi gelisah, susah dibangunkan dan bereaksi lambat atau tidak tepat terhadap pertanyaan. Bila perawat harus memberikan rangsang nyeri untuk mendapatkan respons, keadaan pasien nyata telah memburuk.
Indikator kedua yang digunakan adalah fungsi motor. Apakah anak mampu menggerakkan keempat anggotanya dengan kekuatan yang sama dan dengan terkontrol? Pada bayi, periksa kemampuan memegang botol dan atau refleks memegang. Pada anak lebih besar periksa kekuatan, ekualitas bilateral serta kemampuan melepas genggaman tangan. Untuk memeriksa kelemahan yang sangat ringan, suruh anak merentangkan tangannya kedepan sambil menyuruh menutup matanya. Bila ada kelemahan, anggota yang lemah akan bergerak kebawah. Bila satu sisi menjadi lebih buruk, berarti pasien mengalami perburukan neurologis. Periksa juga kesimetrisan wajah.
Indikator fungsi otak ketiga adalah mata (gerak bola mata dan respons pupil). Normalnya pupil ukurannya sama dan bereaksi jelas terhadap sinar. Pupil yang melebar dan bereaksi lambat merupakan masalah serius terutama bila bersama dengan penurunan derajat kesadaran. Garak mata dicatat pada lembar pengamatan.
Indikator keempat adalah perubahan respirasi dan tanda-tanda vital lainnya. Respirasi akan melambat bila tekanan intrakranial meningkat. Melebarnya tekanan nadi yaitu bertambahnya selisih tekanan sistol dan diastol, serta bradikardia juga merupakan tanda lain dari peninggian TIK. Perubahan tanda-tanda vital biasanya berakibat perubahan yang jelas dari tingkat kesadaran pasien dan dokter harus segera diberitahu perburukan pasien tsb.
Bila status neurologis pasien tidak stabil, tanda-tanda vital neurologis harus diinterpretasikan dan dicatat berkala. Pencatatan tanda-tanda neurologis berkisar antara setiap 15 menit dan 2 jam. Bila anak cukup stabil, tidak perlu memantau lebih cepat dari setiap 2 jam, namun pengamatan visual tetap merupakan tanggung-jawab perawat. Bila perawat menemukan perburukan tingkat kesadaran misalnya, perawat kembali mengatur frekuensi pencatatan tanda-tanda vital neurologis serta segera memberitahu dokternya.
Perawat juga harus mengenal kemungkinan komplikasi yang ditunjukkan oleh kebocoran cairan serebrospinal, diabetes insipidus serta kejang. Setelah operasi atau cedera kepala, kebocoran cairan serebrospinal tampak sebagai aliran cairan dari telinga atau hidung. Bila bingung akan sumber cairan, periksa glukosa cairan tsb. Hasil positif berarti cairan serebrospinal. Bila aliran cairan serebrospinal menetap dan tidak diberikan antibiotika, meningitis bisa terjadi. Perawat tidak boleh melakukan tindakan yang akan memicu kebocoran cairan serebrospinal seperti menghisap hidung, memasang NGT, dan juga pasien tidak boleh membuang cairan dari hidungnya dengan cara seperti membuang ingus.
Beberapa basien bedah-saraf setelah cedera atau operasi akan mengalami diabetes insipidus akibat perubahan pelepasan ADH (antidiuretic hormone) dari hipofisis posterior. Tanda-tanda diabetes insipidus antaranya volume urin yang banyak dengan BJ kurang dari 1.005 pada pemeriksaan berulang serta meningkatnya rasa haus serta mengkonsumsi sejumlah banyak air dalam mengkompensasi output urin yang tinggi.
Tidak jarang pasien bedah-saraf mengalami kejang. Kejang yang timbul tiba-tiba jelas menunjukkan gangguan neurologis dan memerlukan perhatian dokter. Setelah cedera kepala , kejang mengharuskan perawat waspada akan kemungkinan komplikasi seperti edema atau perdarahan otak. Kejang dapat terjadi setelah operasi intrakranial akibat iritasi lokal atau edema otak. Untuk anak dengan riwayat kejang atau dengan keadaan yang bisa memicu kejang, mengawasi pasien harus lebih ketat agar terhindar dari cedera serta untuk menjaga keutuhan jalan nafas.
PENINGGIAN TEKANAN INTRAKRANIAL
Pemahaman patofisiologi peninggian tekanan intrakranial membantu perawat melakukan pengamatan penting. Karena otak letaknya terkurung dalam kerangka yang kaku, peninggian tekanan dalam rongga tengkorak dapat menghambat aliran darah otak yang bisa berakibat gangguan fungsi otak yang permanen. Tengkorak bayi, yang belum kaku, merupakan kekecualian dan peninggian tekanan intrakranial dapat diamati sebagai penonjolan fontanel. Tanda-tanda serta gejala awal peninggian tekanan intrakranial antaranya :
1. Nyeri kepala.
2. Muntah.
3. Penurunan tingkat kesadaran.
4. Perbedaan ukuran pupil; melambatnya reaksi terhadap cahaya.
5. Peninggian tekanan darah.
6. Melambatnya nadi.
7. Kelemahan anggota badan.
8. Munculnya respon plantar.
Penyebab peninggian tekanan intrakranial bervariasi, namun bila perawat tidak mendapatkan tanda peringatan pada waktunya, hasil akhir akan berupa pupil yang melebar serta henti napas, yang biasanya irreversibel akibat peninggian tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial normal berkisar dari 0-15 mmHg; tekanan intrakranial diatas 15 mmHg dianggap meninggi.
Anak dengan tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial memerlukan pengamatan ketat serta pencatatan yang lengkap di ICU. Anak dengan GCS 8 atau kurang memerlukan pemantauan tekanan intrakranial secara kontinu. Tindakan keperawatan untuk mengontrol tekanan intrakranial antaranya : peninggian kepala tempat tidur 15-30°, mempertahakan jalan nafas untuk mencegah hipoventilasi, memposisikan pasien secara miring untuk mencegah obstruksi jalan nafas akibat muntah, dan mengatur cairan sesuai kebutuhan. Untuk mempertahankan jalan nafas yang utuh, penghisapan hanya dilakukan maksimum 15 detik, karena penghisapan meninggikan tekanan intrakranial seketika. Bila masih diperlukan penghisapan, lakukan hiperventilasi dengan oksigen terlebih dahulu.
Dokter mungkin mengorderkan steroid, cairan hiperosmotik, hiperventilasi, hipotermia dan induksi koma dengan barbiturat. Steroid membantu mengurangi edema otak serta menstabilkan sawar darah otak kecuali pada trauma mungkin hanya metilprednisolon. Cairan hiperosmotik membuang cairan dari jaringan otak kealiran darah untuk dibuang melalui ginjal. Namun lebih mungkin perbaikan yang terjadi adalah akibat hemodilusi hingga aliran darah keotak menjadi lebih baik dibanding efeknya sebagai pengurang edema. Cairan hiperosmotik yang digunakan biasanya mannitol 20% dengan dosis 1-3 gram per kg dan diinfuskan sekitar 15-30 menit. Pasien harus dipasang kateter sebelum pemberian mannitol IV untuk memastikan keefektifan diuresis. Hiperventilasi mekanik dengan respirator atau dengan “bagging” mengurangi CO2 jaringan otak, dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan tekanan intrakranial. Induksi hipotermia mengurangi tekanan intrakranial dengan mengurangi kebutuhan glukosa dan oksigen otak. Pengamatan tekanan intrakranial secara kontinu dengan menginsersikan sensor atau sensor pada fontanel memberikan data perubahan tekanan intrakranial , hingga tindakan bisa diberikan secara cepat. Bila tekanan intrakranial tetap tinggi, dokter sering menginduksikan koma dengan barbiturat, yang walau tetap kontroversial, namun sering sangat efektif mengurangi tekanan intrakranial secara nyata.
Pada pasien dengan monitor epidural atau fontanel terpasang, perawat dapat lebih hati-hati dengan tindakan keperawatan yang bisa meninggikan tekanan intrakranial . Misalnya penghisapan dan pengaturan posisi pasien akan meninggikan tekanan intrakranial , karenanya perawat harus merancang perawatan sehingga kedua tindakan tersebut tidak dilakukan secara bersamaan. Anak dengan koma barbiturat memerlukan perawatan fisik total karena koma menyebabkan paralisis total. Karena otot pernafasan mengalami paralisis total, perawat bertanggung-jawab memastikan anak mendapat ventilasi adekuat.
ANAK DENGAN KONDISI KRITIS
Perawatan anak dengan keadaan koma memerlukan asuhan keperawatan ketat untuk mempertahankan keadaan fisik optimal serta mencegah komplikasi akibat immobolitas dan terganggunya fungsi neurologis.
Perawatan respirasi dengan pengamatan berkala serta penghisapan jalan nafas diperlukan pada semua pasien koma dengan intubasi untuk memastikan jalan nafas yang utuh, karena gagal nafas adalah penyebab kematian paling utama pada pasien koma. Masalah yang umum timbul adalah sumbatan jalan nafas oleh sumbat mukus atau atau aspirasi makanan dari makanan nasogastrik. Untuk mencegah sumbat mukus, kelembaban sangat bermanfaat. Untuk mencegah aspirasi, peninggian kepala tempat tidur 30° serta membuang residu isi lambung dengan penghisap sebelum memberikan makanan lewat NGT untuk mengurangi risiko keluarnya isi lambung atau regurgitasi. Pembuangan residu dengan penghisap adalah untuk memberikan ruang pada makanan yang akan diberikan selanjutnya. Pengamatan residu lambung penting karena peningkatan residu lambung bisa mengindikasikan adanya ileus.
Rongga hidung memerlukan pengusapan dua kali sehari untuk mencegah sekresi yang mengering menghambat jalan nafas. Bila dokter curiga adanya kebocoran cairan serebrospinal, pengusapan dan penghisapan hidung dikontraindikasikan.
Perawatan mulut penting pada pasien koma. Gigi dan gusi dibersihkan dengan spatula dibalut kassa yang dibasahi cairan pembersih mulut. Untuk membersihkan bagian dalam mulut, dapat diirigasi dengan kombinasi cairan pembersih mulut dan peroksida, sementara parawat yang lain menghisap mulut. Selalu posisikan anak pada sisi tubuhnya selama merawat mulut untuk mencegah aspirasi.
Perawatan saluran cerna dan kandung kencing sangat penting pada pasien koma. Mencret dapat berarti malabsorbsi makanan nasogastrik, bendungan fekal atau makanan yang diberikan terlalu cepat. Konstipasi dapat menimbulkan peninggian tekanan intrakranial bila anak mengedan, karenanya pelunak makanan harus segera diberikan. Output urin perlu pengamatan untuk menilai balans cairan. Kateter terpasang berperan dalam menimbulkan infeksi saluran kemih hingga harus dilakukan pengangkatan secara dini.
Perawatan kulit bertujuan mencegah lecet karena tekanan pada pasien sakit berat. Perhatian diarahkan pada perubahan berkala posisi tubuh disertai dengan latihan. Kasur udara yang diindikasikan bersamaan dengan jadwal perubahan posisi akan menentukan jadwal perubahan posisi serta posisinya sendiri. Anak dengan inkontinensia harus segera dirawat dengan baik. Bila anak memakai alas pendingin, peruabahan posisi dilakukan tiap 2 jam dan gerak pasif minimal tiap 8 jam. Beberapa pasien memerlukan bidai untuk mencegah wristdrop dan footdrop. Bila bidai dipakai, perlu dibuka tiap 4 jam untuk melihat kulit didaerah penekanan.
Pasien sakit kritis memerlukan perawatan fisik dan psikososial. Membicarakan serta menjelaskan semua kegiatan pada pasien adalah penting karena ia mungkin merasa dan mendengar. Kebutuhan psikososial keluarga dengan anak dalam perawatan intensif tidak boleh dilupakan. Penjelasan berkelanjutan serta penegasan kembali rencana medis serta prognosis diindikasikan. Orang-tua biasanya ingin mengetahui mengapa mesin atau monitor digunakan dan bagaimana kerjanya membantu anaknya. Jawab pertanyaan dengan sejelas dan sesingkat mungkin serta harus tanggap akan reaksi keluarga. Yang lebih penting, perawat harus menjelaskan pada orang-tua perawatan apa yang boleh mereka lakukan. Sering dengan semua instrumen terpasang, orang-tua cemas untuk menyentuh dan berbicara dengan anaknya. Orang-tua dapat menjadi aktif dalam melakukan beberapa perawatan fisik dan perawat harus memberi semangat pada mereka agar berbicara pada anaknya bila keadaan mengizinkan, karena anak mungkin mengerti dan mendengar.
PERAWATAN DIBANGSAL
Kondisi bedah-saraf pasien yang dirawat dibangsal bervariasi. Mereka mungkin dalam pemulihan setelah operasi, cedera kepala dalam observasi atau pemulihan dari cedera kepala berat, dan pasien yang dirawat untuk pemeriksaan. Semua pasien dapat menunjukkan perburukan status neurologis. Walau pasien bedah-saraf ini tidak kritis, mereka tetap memerlukan penilaian yang tepat bila tanda-tanda vital neurologis perlu pengamatan.
Tanggung-jawab mengharuskan perawat melaporkan semua kemunduran dan untuk membantu anak agar pulih kepotensi maksimum. Pemulihan dapat menjadi kerja berat terutama setelah kerusakan neurologis berat. Anak mungkin memerlukan pembelajaran ulang bahkan terhadap perintah yang sederhana seperti menelan dan mengunyah sebelum makanan lewat mulut dilakukan. Tampaknya, bila anak mulai makan lewat oral lagi, ia menjadi lebih sadar dan menjadi lebih peduli terhadap lingkungannya. Merawat anak kembali ketingkat fungsional dapat berjalan lambat dan merupakan pekerjaan yang menimbulkan frustasi, namun dapat menjadi sangat menyenangkan ketika kemampuan anak pulih. Orang-tua memerlukan dukungan terus-menerus dan dorongan semangat selama masa ini. Untuk menunggu anaknya normal dan sehat, bisa merupakan pengalaman menakutkan, dimana dimerlukan usaha keluarga yang terencana untuk mendapatkan potensi maksimum.
Pasien dan keluarganya yang masuk rumah-sakit untuk memeriksakan tanda-tanda kelainan neurologis juga memerlukan dukungan dari petugas keperawatan. Adalah tugas perawat untuk mempersiapkan baik pasien maupun keluarganya untuk berbagai pemeriksaan yang akan dilakukan. Orang-tua harus mengerti tes apa saja yang akan dilakukan dan informasi apa yang dapat dikumpulkan untuk mendiagnosis dan menindak kelainannya. Orang-tua dengan cemas menunggu hasil pemeriksaan sehingga perawat, sebagai pengayom pasien, mengusahakan pengumpulan hasil secepat mungkin.
Dibangsal umum, perawat sering menjumpai anak cacad karena anomali kongenital, seperti spina bifida. Sebagian mereka menunjukkan paralisis, kesulitan saluran cerna dan kandung kemih. Mereka sering masuk rumah-sakit berulang untuk operasi agar memungkinkan mereka dapat berfungsi dengan pemakaian brace. Ketika anak semakin besar, ia akan memerlukan katerisasi intermiten untuk memastikan kandung kemih betul-betul kosong serta untuk mencegah infeksi saluran kemih berulang. Kateterisasi yang dilakukan sendiri perlu keberanian dan petunjuk yang baik harus diberikan pada pasien.
PERAWATAN NEONATAL
Kelainan bedah-saraf yang dijumpai pada keperawatan neonatal biasanya kongenital (meningomielosel, hidrosefalus) atau yang berkaitan dengan kelahiran yang traumatik baik dengan atau tanpa perdarahan intraserebral. Banyak diantara bayi ini adalah prematur dengan insidens perdarahan intraventrikuler yang tinggi. Tidak seperti anak yang lebih besar, neonatus dengan kelainan neurologis mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial kecuali penonjolan fontanel serta cepatnya pertambahan lingkaran kepala. Beberapa bayi ini dirawat dalam inkubator dan memerlukan bantuan respirasi dan sebagian dari mereka memerlukan operasi segera yang terkadang berulang.
Ini adalah saat penyesuaian yang sulit bagi orang-tua muda karena mereka lebih mengharap bayi yang normal dan sehat dibanding bayi yang sakit atau sakit berat yang mungkin akan cacad kelak. Sang ibu terkadang berpikir telah melakukan sesuatu saat hamil yang menyebabkan kelainan tsb. Disini peran perawat membantu orang-tua agar mengerti bahwa kemarahan, kesedihan dan dukacita adalah normal serta perasaan bersalah adalah tidak perlu. Sang ibu biasanya ada dirumah sakit karena persalinannya, hingga komunikasi langsung perawat dengan ibu, seperti juga dengan sang ayah lebih mudah dilakukan. Bila masalah bedah-saraf kongenital mempunyai implikasi jangka panjang yang memerlukan perawatan rumah-sakit berulang, orang-tua membutuhkan bantuan dalam menghadapi kesulitan dan dalam belajar bagaimana mengatasi kecacadan. Mereka mungkin memerlukan petunjuk praktis bagaimana memberi makan dan merawat bayi secara umum. Sebagian orang-tua mungkin memilih anaknya dirawat diinstitusi atau diadopsikan. Perawat berperan memberikan informasi berbagai alternatif serta kemungkinan konsekuensinya dan kemudian bertindak sesuai anjurannya membantu mereka melakukan keinginan tsb. untuk bayinya.
Merawat semua pasien bedah-saraf pediatrik adalah pengalaman yang menantang, baik di ICU, bangsal atau ruang neonatal. Perawat bedah-saraf pediatrik yang kompeten harus mampu menilai, menginterpretasikan dan mencatat tanda-tanda neurologis vital scara tepat sebagai tanggung-jawab seorang anggota tim perawat kesehatan. Evaluasi dan koordinasi untuk terapi, sepanjang dalam pendekatan keperawatan dapat membantu anak mencapai potensi terbaiknya. Dalam bekerja dengan pasien sakit kritis atau anak dengan neurologis terganggu serta melihat mereka pulang dari rumah-sakit, setelah memberikan mereka bantuan untuk mencapai tingkat fungsional yang baik, adalah sangat menggembirakan dan merupakan pengalaman yang sangat berharga.
Rujukan :
Donna Murray, RN, BA. : Pediatric Neurosurgical Nursing. In The Pediatric
Neurosurgical Patient : A Cooperative Approach. LP. Ivan, ed.
Zehava Noah : Neorologic Intensive Care. In Pediatric Neurosurgery. J. Raymondi, ed.
Sumber :
Syaiful Saanin. SMF Bedah Saraf RS M. Djamil.
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/perawatanak.html
FUNGSI UMUM OTAK.
Beberapa pengetahuan anatomi fungsional otak dan saraf kranial memungkinkan perawat memahami disfungsi neurologis (tabel). Bagian posterior lobus frontal (korteks motor) mengatur gerak otot volunter. Bicara terganggu bila kelainan pada hemisfer dominan. Bagian anterior lobus frontal mengatur keadaan emosi anak serta kegiatan intelektual yang kompleks. Anak yang menunjukkan agitasi, bingung dan menunjukkan respons emosi yang tidak lazim mungkin mempunyai gangguan pada bagian anterior lobus frontal.
Lobus parietal menginterpretasikan impuls sensori yang diperlukan untuk mengenali objek. Contohnya anak yang kesulitan mengenal benda yang diletakkan digenggamannya ketika matanya ditutup menunjukkan tanda-tanda kerusakan lobus parietal.
Lobus temporal adalah pusat pendengaran dan memungkinkan anak menerima dan mengartikan pembicaraan. Afasia reseptif auditori menunjukkan gangguan lobus temporal dominan.
Lobus oksipital menerima dan menginterpretasikan rangsang visual. Karenanya bila terjadi defek lapang pandang, mungkin akibat gangguan pada lobus oksipital.
Talamus sering dikatakan sebagai stasiun relai sensori otak. Ia juga membedakan antara sensasi menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Hipotalamus adalah bagian pusat dari sistem saraf otonom. Anak dengan gangguan hipotalamus mungkin menampilkan gangguan metabolisme, pertumbuhan, kematangan seksual, suhu tubuh, tekanan darah, pola tidur serta respons viseral dan emosional lainnya.
Batang otak (otak tengah, pons dan medulla oblongata) merupakan jalur penghantar antara kord spinal dengan bagian lain otak. Juga mempunyai 10 inti saraf kranial, nomor 3 hingga 12. Batang otak memiliki formasi retikuler yang berfungsi sebagai sistem kesadaran yang merupakan anyaman jaringan sel-sel otak dan serabut saraf. Bila anak dalam koma, mungkin formasi retikuler sudah terganggu.
Ataksia atau gerakan yang tidak terkoordinasi menunjukkan terganggunya serebelum yang merupakan pusat keseimbangan dan koordinasi.
Tabel : Saraf –saraf otak, lokasi dan fungsi.
Saraf/ Fungsi/ Lokasi inti
I Olfaktori/ Penciuman/ Anterior Lobus Frontal
II Optik/ Penglihatan/ Talamus
III Okulomotor/ Gerak mata/ Otak tengah
IV Trokhlear/ Gerak mata/ Otak tengah
V Trigeminal/ Mengunyah/ Sensasi wajah, gigi,kulit kepala/ Pons
VI Abdusen/ Gerak mata/ Pons
VII Fasial/ Ekspresi wajah, Rasa, kelenjar ludah dan air mata/ Pons
VIII Akustik/ Mendengar, Rasa keseimbangan/ Medulla
IX Glossofaring/ Sekresi ludah,Gerak menelan.Sensasi tenggorokan, Rasa/ Medulla
X Vagus/ Menelan, bersuara,Memperlambat denyut jantung dan mempercepat peristaltik/ Medulla
XI Aksesori spinal/ Gerak bahu, Rotasi leher/ Medulla
XII Hipoglosal/ Gerak lidah/ Medulla
PENILAIAN STATUS NEUROLOGIS
Karena perawat lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pasien, observasi mereka sangat penting dalam menilai perubahan status neurologis. Catatan dasar neurologis sederhana memungkinkan perawat membandingkan perubahan neurologis yang terjadi. Memastikan pasien stabil, memburuk atau membaik akan menentukan arah pengelolaan pasien. Agar kosisten dalam membandingkan, dipakai format standar seperti GCS. Untuk menilai pasien secara tepat, perawat harus memahami 4 komponen penilaian neurologis praktis : tingkat kesadaran, fungsi motor, reaksi pupil, respirasi beserta tanda vital lainnya.
Tingkat kesadaran adalah indikator terpenting dari fungsi otak pasien dan biasanya memberikan pertanda pertama bahwa kondisi pasien memburuk. Tingkat kesadaran bervariasi dari sadar penuh, mengantuk, gelisah atau tidak bereaksi. Bila sadar penuh, pasien dapat menjawab pertanyaan dengan benar dan bisa berorientasi atas waktu, tempat dan orang. Pada pasien praverbal, gunakan GCS dengan modifikasi pada unsur verbal. Untuk menilai kesadaran terhadap lingkungan dan refleks, refleks isap bisa membatu menetukan derajat respons pasien. Tahap pertama perburukan diketahui bila anak menjadi gelisah, susah dibangunkan dan bereaksi lambat atau tidak tepat terhadap pertanyaan. Bila perawat harus memberikan rangsang nyeri untuk mendapatkan respons, keadaan pasien nyata telah memburuk.
Indikator kedua yang digunakan adalah fungsi motor. Apakah anak mampu menggerakkan keempat anggotanya dengan kekuatan yang sama dan dengan terkontrol? Pada bayi, periksa kemampuan memegang botol dan atau refleks memegang. Pada anak lebih besar periksa kekuatan, ekualitas bilateral serta kemampuan melepas genggaman tangan. Untuk memeriksa kelemahan yang sangat ringan, suruh anak merentangkan tangannya kedepan sambil menyuruh menutup matanya. Bila ada kelemahan, anggota yang lemah akan bergerak kebawah. Bila satu sisi menjadi lebih buruk, berarti pasien mengalami perburukan neurologis. Periksa juga kesimetrisan wajah.
Indikator fungsi otak ketiga adalah mata (gerak bola mata dan respons pupil). Normalnya pupil ukurannya sama dan bereaksi jelas terhadap sinar. Pupil yang melebar dan bereaksi lambat merupakan masalah serius terutama bila bersama dengan penurunan derajat kesadaran. Garak mata dicatat pada lembar pengamatan.
Indikator keempat adalah perubahan respirasi dan tanda-tanda vital lainnya. Respirasi akan melambat bila tekanan intrakranial meningkat. Melebarnya tekanan nadi yaitu bertambahnya selisih tekanan sistol dan diastol, serta bradikardia juga merupakan tanda lain dari peninggian TIK. Perubahan tanda-tanda vital biasanya berakibat perubahan yang jelas dari tingkat kesadaran pasien dan dokter harus segera diberitahu perburukan pasien tsb.
Bila status neurologis pasien tidak stabil, tanda-tanda vital neurologis harus diinterpretasikan dan dicatat berkala. Pencatatan tanda-tanda neurologis berkisar antara setiap 15 menit dan 2 jam. Bila anak cukup stabil, tidak perlu memantau lebih cepat dari setiap 2 jam, namun pengamatan visual tetap merupakan tanggung-jawab perawat. Bila perawat menemukan perburukan tingkat kesadaran misalnya, perawat kembali mengatur frekuensi pencatatan tanda-tanda vital neurologis serta segera memberitahu dokternya.
Perawat juga harus mengenal kemungkinan komplikasi yang ditunjukkan oleh kebocoran cairan serebrospinal, diabetes insipidus serta kejang. Setelah operasi atau cedera kepala, kebocoran cairan serebrospinal tampak sebagai aliran cairan dari telinga atau hidung. Bila bingung akan sumber cairan, periksa glukosa cairan tsb. Hasil positif berarti cairan serebrospinal. Bila aliran cairan serebrospinal menetap dan tidak diberikan antibiotika, meningitis bisa terjadi. Perawat tidak boleh melakukan tindakan yang akan memicu kebocoran cairan serebrospinal seperti menghisap hidung, memasang NGT, dan juga pasien tidak boleh membuang cairan dari hidungnya dengan cara seperti membuang ingus.
Beberapa basien bedah-saraf setelah cedera atau operasi akan mengalami diabetes insipidus akibat perubahan pelepasan ADH (antidiuretic hormone) dari hipofisis posterior. Tanda-tanda diabetes insipidus antaranya volume urin yang banyak dengan BJ kurang dari 1.005 pada pemeriksaan berulang serta meningkatnya rasa haus serta mengkonsumsi sejumlah banyak air dalam mengkompensasi output urin yang tinggi.
Tidak jarang pasien bedah-saraf mengalami kejang. Kejang yang timbul tiba-tiba jelas menunjukkan gangguan neurologis dan memerlukan perhatian dokter. Setelah cedera kepala , kejang mengharuskan perawat waspada akan kemungkinan komplikasi seperti edema atau perdarahan otak. Kejang dapat terjadi setelah operasi intrakranial akibat iritasi lokal atau edema otak. Untuk anak dengan riwayat kejang atau dengan keadaan yang bisa memicu kejang, mengawasi pasien harus lebih ketat agar terhindar dari cedera serta untuk menjaga keutuhan jalan nafas.
PENINGGIAN TEKANAN INTRAKRANIAL
Pemahaman patofisiologi peninggian tekanan intrakranial membantu perawat melakukan pengamatan penting. Karena otak letaknya terkurung dalam kerangka yang kaku, peninggian tekanan dalam rongga tengkorak dapat menghambat aliran darah otak yang bisa berakibat gangguan fungsi otak yang permanen. Tengkorak bayi, yang belum kaku, merupakan kekecualian dan peninggian tekanan intrakranial dapat diamati sebagai penonjolan fontanel. Tanda-tanda serta gejala awal peninggian tekanan intrakranial antaranya :
1. Nyeri kepala.
2. Muntah.
3. Penurunan tingkat kesadaran.
4. Perbedaan ukuran pupil; melambatnya reaksi terhadap cahaya.
5. Peninggian tekanan darah.
6. Melambatnya nadi.
7. Kelemahan anggota badan.
8. Munculnya respon plantar.
Penyebab peninggian tekanan intrakranial bervariasi, namun bila perawat tidak mendapatkan tanda peringatan pada waktunya, hasil akhir akan berupa pupil yang melebar serta henti napas, yang biasanya irreversibel akibat peninggian tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial normal berkisar dari 0-15 mmHg; tekanan intrakranial diatas 15 mmHg dianggap meninggi.
Anak dengan tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial memerlukan pengamatan ketat serta pencatatan yang lengkap di ICU. Anak dengan GCS 8 atau kurang memerlukan pemantauan tekanan intrakranial secara kontinu. Tindakan keperawatan untuk mengontrol tekanan intrakranial antaranya : peninggian kepala tempat tidur 15-30°, mempertahakan jalan nafas untuk mencegah hipoventilasi, memposisikan pasien secara miring untuk mencegah obstruksi jalan nafas akibat muntah, dan mengatur cairan sesuai kebutuhan. Untuk mempertahankan jalan nafas yang utuh, penghisapan hanya dilakukan maksimum 15 detik, karena penghisapan meninggikan tekanan intrakranial seketika. Bila masih diperlukan penghisapan, lakukan hiperventilasi dengan oksigen terlebih dahulu.
Dokter mungkin mengorderkan steroid, cairan hiperosmotik, hiperventilasi, hipotermia dan induksi koma dengan barbiturat. Steroid membantu mengurangi edema otak serta menstabilkan sawar darah otak kecuali pada trauma mungkin hanya metilprednisolon. Cairan hiperosmotik membuang cairan dari jaringan otak kealiran darah untuk dibuang melalui ginjal. Namun lebih mungkin perbaikan yang terjadi adalah akibat hemodilusi hingga aliran darah keotak menjadi lebih baik dibanding efeknya sebagai pengurang edema. Cairan hiperosmotik yang digunakan biasanya mannitol 20% dengan dosis 1-3 gram per kg dan diinfuskan sekitar 15-30 menit. Pasien harus dipasang kateter sebelum pemberian mannitol IV untuk memastikan keefektifan diuresis. Hiperventilasi mekanik dengan respirator atau dengan “bagging” mengurangi CO2 jaringan otak, dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan tekanan intrakranial. Induksi hipotermia mengurangi tekanan intrakranial dengan mengurangi kebutuhan glukosa dan oksigen otak. Pengamatan tekanan intrakranial secara kontinu dengan menginsersikan sensor atau sensor pada fontanel memberikan data perubahan tekanan intrakranial , hingga tindakan bisa diberikan secara cepat. Bila tekanan intrakranial tetap tinggi, dokter sering menginduksikan koma dengan barbiturat, yang walau tetap kontroversial, namun sering sangat efektif mengurangi tekanan intrakranial secara nyata.
Pada pasien dengan monitor epidural atau fontanel terpasang, perawat dapat lebih hati-hati dengan tindakan keperawatan yang bisa meninggikan tekanan intrakranial . Misalnya penghisapan dan pengaturan posisi pasien akan meninggikan tekanan intrakranial , karenanya perawat harus merancang perawatan sehingga kedua tindakan tersebut tidak dilakukan secara bersamaan. Anak dengan koma barbiturat memerlukan perawatan fisik total karena koma menyebabkan paralisis total. Karena otot pernafasan mengalami paralisis total, perawat bertanggung-jawab memastikan anak mendapat ventilasi adekuat.
ANAK DENGAN KONDISI KRITIS
Perawatan anak dengan keadaan koma memerlukan asuhan keperawatan ketat untuk mempertahankan keadaan fisik optimal serta mencegah komplikasi akibat immobolitas dan terganggunya fungsi neurologis.
Perawatan respirasi dengan pengamatan berkala serta penghisapan jalan nafas diperlukan pada semua pasien koma dengan intubasi untuk memastikan jalan nafas yang utuh, karena gagal nafas adalah penyebab kematian paling utama pada pasien koma. Masalah yang umum timbul adalah sumbatan jalan nafas oleh sumbat mukus atau atau aspirasi makanan dari makanan nasogastrik. Untuk mencegah sumbat mukus, kelembaban sangat bermanfaat. Untuk mencegah aspirasi, peninggian kepala tempat tidur 30° serta membuang residu isi lambung dengan penghisap sebelum memberikan makanan lewat NGT untuk mengurangi risiko keluarnya isi lambung atau regurgitasi. Pembuangan residu dengan penghisap adalah untuk memberikan ruang pada makanan yang akan diberikan selanjutnya. Pengamatan residu lambung penting karena peningkatan residu lambung bisa mengindikasikan adanya ileus.
Rongga hidung memerlukan pengusapan dua kali sehari untuk mencegah sekresi yang mengering menghambat jalan nafas. Bila dokter curiga adanya kebocoran cairan serebrospinal, pengusapan dan penghisapan hidung dikontraindikasikan.
Perawatan mulut penting pada pasien koma. Gigi dan gusi dibersihkan dengan spatula dibalut kassa yang dibasahi cairan pembersih mulut. Untuk membersihkan bagian dalam mulut, dapat diirigasi dengan kombinasi cairan pembersih mulut dan peroksida, sementara parawat yang lain menghisap mulut. Selalu posisikan anak pada sisi tubuhnya selama merawat mulut untuk mencegah aspirasi.
Perawatan saluran cerna dan kandung kencing sangat penting pada pasien koma. Mencret dapat berarti malabsorbsi makanan nasogastrik, bendungan fekal atau makanan yang diberikan terlalu cepat. Konstipasi dapat menimbulkan peninggian tekanan intrakranial bila anak mengedan, karenanya pelunak makanan harus segera diberikan. Output urin perlu pengamatan untuk menilai balans cairan. Kateter terpasang berperan dalam menimbulkan infeksi saluran kemih hingga harus dilakukan pengangkatan secara dini.
Perawatan kulit bertujuan mencegah lecet karena tekanan pada pasien sakit berat. Perhatian diarahkan pada perubahan berkala posisi tubuh disertai dengan latihan. Kasur udara yang diindikasikan bersamaan dengan jadwal perubahan posisi akan menentukan jadwal perubahan posisi serta posisinya sendiri. Anak dengan inkontinensia harus segera dirawat dengan baik. Bila anak memakai alas pendingin, peruabahan posisi dilakukan tiap 2 jam dan gerak pasif minimal tiap 8 jam. Beberapa pasien memerlukan bidai untuk mencegah wristdrop dan footdrop. Bila bidai dipakai, perlu dibuka tiap 4 jam untuk melihat kulit didaerah penekanan.
Pasien sakit kritis memerlukan perawatan fisik dan psikososial. Membicarakan serta menjelaskan semua kegiatan pada pasien adalah penting karena ia mungkin merasa dan mendengar. Kebutuhan psikososial keluarga dengan anak dalam perawatan intensif tidak boleh dilupakan. Penjelasan berkelanjutan serta penegasan kembali rencana medis serta prognosis diindikasikan. Orang-tua biasanya ingin mengetahui mengapa mesin atau monitor digunakan dan bagaimana kerjanya membantu anaknya. Jawab pertanyaan dengan sejelas dan sesingkat mungkin serta harus tanggap akan reaksi keluarga. Yang lebih penting, perawat harus menjelaskan pada orang-tua perawatan apa yang boleh mereka lakukan. Sering dengan semua instrumen terpasang, orang-tua cemas untuk menyentuh dan berbicara dengan anaknya. Orang-tua dapat menjadi aktif dalam melakukan beberapa perawatan fisik dan perawat harus memberi semangat pada mereka agar berbicara pada anaknya bila keadaan mengizinkan, karena anak mungkin mengerti dan mendengar.
PERAWATAN DIBANGSAL
Kondisi bedah-saraf pasien yang dirawat dibangsal bervariasi. Mereka mungkin dalam pemulihan setelah operasi, cedera kepala dalam observasi atau pemulihan dari cedera kepala berat, dan pasien yang dirawat untuk pemeriksaan. Semua pasien dapat menunjukkan perburukan status neurologis. Walau pasien bedah-saraf ini tidak kritis, mereka tetap memerlukan penilaian yang tepat bila tanda-tanda vital neurologis perlu pengamatan.
Tanggung-jawab mengharuskan perawat melaporkan semua kemunduran dan untuk membantu anak agar pulih kepotensi maksimum. Pemulihan dapat menjadi kerja berat terutama setelah kerusakan neurologis berat. Anak mungkin memerlukan pembelajaran ulang bahkan terhadap perintah yang sederhana seperti menelan dan mengunyah sebelum makanan lewat mulut dilakukan. Tampaknya, bila anak mulai makan lewat oral lagi, ia menjadi lebih sadar dan menjadi lebih peduli terhadap lingkungannya. Merawat anak kembali ketingkat fungsional dapat berjalan lambat dan merupakan pekerjaan yang menimbulkan frustasi, namun dapat menjadi sangat menyenangkan ketika kemampuan anak pulih. Orang-tua memerlukan dukungan terus-menerus dan dorongan semangat selama masa ini. Untuk menunggu anaknya normal dan sehat, bisa merupakan pengalaman menakutkan, dimana dimerlukan usaha keluarga yang terencana untuk mendapatkan potensi maksimum.
Pasien dan keluarganya yang masuk rumah-sakit untuk memeriksakan tanda-tanda kelainan neurologis juga memerlukan dukungan dari petugas keperawatan. Adalah tugas perawat untuk mempersiapkan baik pasien maupun keluarganya untuk berbagai pemeriksaan yang akan dilakukan. Orang-tua harus mengerti tes apa saja yang akan dilakukan dan informasi apa yang dapat dikumpulkan untuk mendiagnosis dan menindak kelainannya. Orang-tua dengan cemas menunggu hasil pemeriksaan sehingga perawat, sebagai pengayom pasien, mengusahakan pengumpulan hasil secepat mungkin.
Dibangsal umum, perawat sering menjumpai anak cacad karena anomali kongenital, seperti spina bifida. Sebagian mereka menunjukkan paralisis, kesulitan saluran cerna dan kandung kemih. Mereka sering masuk rumah-sakit berulang untuk operasi agar memungkinkan mereka dapat berfungsi dengan pemakaian brace. Ketika anak semakin besar, ia akan memerlukan katerisasi intermiten untuk memastikan kandung kemih betul-betul kosong serta untuk mencegah infeksi saluran kemih berulang. Kateterisasi yang dilakukan sendiri perlu keberanian dan petunjuk yang baik harus diberikan pada pasien.
PERAWATAN NEONATAL
Kelainan bedah-saraf yang dijumpai pada keperawatan neonatal biasanya kongenital (meningomielosel, hidrosefalus) atau yang berkaitan dengan kelahiran yang traumatik baik dengan atau tanpa perdarahan intraserebral. Banyak diantara bayi ini adalah prematur dengan insidens perdarahan intraventrikuler yang tinggi. Tidak seperti anak yang lebih besar, neonatus dengan kelainan neurologis mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial kecuali penonjolan fontanel serta cepatnya pertambahan lingkaran kepala. Beberapa bayi ini dirawat dalam inkubator dan memerlukan bantuan respirasi dan sebagian dari mereka memerlukan operasi segera yang terkadang berulang.
Ini adalah saat penyesuaian yang sulit bagi orang-tua muda karena mereka lebih mengharap bayi yang normal dan sehat dibanding bayi yang sakit atau sakit berat yang mungkin akan cacad kelak. Sang ibu terkadang berpikir telah melakukan sesuatu saat hamil yang menyebabkan kelainan tsb. Disini peran perawat membantu orang-tua agar mengerti bahwa kemarahan, kesedihan dan dukacita adalah normal serta perasaan bersalah adalah tidak perlu. Sang ibu biasanya ada dirumah sakit karena persalinannya, hingga komunikasi langsung perawat dengan ibu, seperti juga dengan sang ayah lebih mudah dilakukan. Bila masalah bedah-saraf kongenital mempunyai implikasi jangka panjang yang memerlukan perawatan rumah-sakit berulang, orang-tua membutuhkan bantuan dalam menghadapi kesulitan dan dalam belajar bagaimana mengatasi kecacadan. Mereka mungkin memerlukan petunjuk praktis bagaimana memberi makan dan merawat bayi secara umum. Sebagian orang-tua mungkin memilih anaknya dirawat diinstitusi atau diadopsikan. Perawat berperan memberikan informasi berbagai alternatif serta kemungkinan konsekuensinya dan kemudian bertindak sesuai anjurannya membantu mereka melakukan keinginan tsb. untuk bayinya.
Merawat semua pasien bedah-saraf pediatrik adalah pengalaman yang menantang, baik di ICU, bangsal atau ruang neonatal. Perawat bedah-saraf pediatrik yang kompeten harus mampu menilai, menginterpretasikan dan mencatat tanda-tanda neurologis vital scara tepat sebagai tanggung-jawab seorang anggota tim perawat kesehatan. Evaluasi dan koordinasi untuk terapi, sepanjang dalam pendekatan keperawatan dapat membantu anak mencapai potensi terbaiknya. Dalam bekerja dengan pasien sakit kritis atau anak dengan neurologis terganggu serta melihat mereka pulang dari rumah-sakit, setelah memberikan mereka bantuan untuk mencapai tingkat fungsional yang baik, adalah sangat menggembirakan dan merupakan pengalaman yang sangat berharga.
Rujukan :
Donna Murray, RN, BA. : Pediatric Neurosurgical Nursing. In The Pediatric
Neurosurgical Patient : A Cooperative Approach. LP. Ivan, ed.
Zehava Noah : Neorologic Intensive Care. In Pediatric Neurosurgery. J. Raymondi, ed.
Sumber :
Syaiful Saanin. SMF Bedah Saraf RS M. Djamil.
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/perawatanak.html
Bedah Medis Kuno
Meskipun sekarang sudah jaman modern, pasien yang akan menjalani operasi bedah otak masih merasa takut dengan prosedurnya. Rongga tengkorak adalah salah satu area paling yang lemah dalam anatomi tubuh manusia, dan otak adalah bagian yang paling penting di mata ahli bedah. Banyak orang mengerti jika dengan tidak sengaja menyebabkan kerusakan sekecil apapun pada otak, maka konsekuensinya sangat besar.
Tetapi hal yang terlihat sebagai prestasi paling berani dalam pengobatan modern, anehnya adalah prosedur yang juga sudah dipergunakan dalam sejarah kuno. Pembedahan - suatu praktek membuka atau membuat lubang pada tengkorak - ini adalah praktek yang sudah dilakukan orang-orang di seluruh dunia selama ribuan tahun.
Tengkorak-tengkorak yang pernah dibedah telah ditemukan di beberapa daerah berbeda di dunia, termasuk dalam 'Dunia Baru' sisa dari kultur pra-Colombia, dimulai dari penemuan spesimen Peru pada 1863.
Contoh lain adalah penemuan tengkorak dengan bekas bedah ganda berumur 5000 tahun di Prancis dari periode Neolithic (Jaman Batu Baru). Bukti keberhasilan bedah tengkorak ini sangat jelas dan individu itu terus hidup setelah menjalani operasi kronis tersebut.
Melihat sejarah yang lebih tua, lebih banyak bukti praktek pembedahan juga ditemukan dari periode Mesolithic (Jaman Batu Pertengahan), antara 10.000 dan 5.000 tahun lampau. Tengkorak bekas bedah yang paling tua ditemukan di Ukraina pada 1966, dan tengkorak itu berumur 8.020 dan 7.620 tahun - yaitu dari jaman ketika kebanyakan ahli arkeologi percaya bahwa manusia baru saja pindah dari tinggal di gua ke rumah.
Lebih dari sekedar pengobatan
Yang pasti, dari tingkat kesulitan prosedur itu bisa disimpulkan suatu derajat ke-trampilan medis yang tinggi, meskipun sebagian ahli antropologi juga menghubungkannya dengan ritual mistik, dilihat dari banyaknya bekas tengkorak bekas bedah yang ditemukan di beberapa tempat. Di Baumes-Chaudes, Prancis, dari 350 tengkorak diperiksa, ditemukan 60 tengkorak yang bekas bedah.
Dengan jumlah tengkorak bekas bedah yang cukup besar, sebagian orang berpikir bahwa ini adalah suatu 'kehormatan' yang diberikan kepada segmen populasi tertentu. Contohnya para Firaun dari Mesir, mereka akan menjalani bedah tengkorak beberapa kali dalam hidup karena suatu kepercayaan agar jiwa mereka akan lebih mudah untuk meninggalkan tubuh-tubuh mereka setelah kematian.
Dewasa ini, para dokter medis menempuh metode yang sulit ini hanya untuk mengurangi tekanan dari tengkorak pasien dan mengeringkan pendarahan, selain itu biasanya tidak ditempuh metode itu mengingat resikonya yang tinggi. Bagaimanapun juga yang berpendapat orang kuno punya pertimbangan selain dari keperluan medis untuk membuka kepala.
Sementara ada beberapa orang menganggap nenek moyang kita menggunakan pembedahan untuk menyembuhkan penyakit mental - bertujuan untuk membebaskan otak pasien dari siksaan hantu dan roh yang merasuk - peneliti lainnya mengatakan pembedahan tengkorak masa lampau adalah suatu cara untuk menawarkan pengalaman spiritual yang sangat menggembirakan. Kepercayaan semacam itu masih berlaku hingga sekarang.
Pada tahun 1962, Orang Belanda Bart Hughes menerbitkan Mechanism of Brainblood volume, mengatakan bahwa dengan melubangi tengkorak, volume otak darah meningkat. Dengan demikian, Hughes percaya individu yang melakukan hal ini dapat meningkatkan kesadaran mereka, dengan suatu kesadaran lebih tinggi mendekati kesadaran seorang anak dengan 'soft spot'nya.
Dengan berdiri diatas kepala atau mengonsumsi tumbuh-tumbuhan yang dapat meningkatkan aliran darah ke otak, kondisi yang serupa dapat dicapai untuk sementara. Tetapi Hughes lebih tertarik dengan kondisi yang lebih permanen dibanding hanya dengan tumbuh-tumbuhan, karena itu dia melakukan prosedur ini pada dirinya sendiri pada 1965.
Beberapa orang juga mengikuti langkah Hughes; contohnya seniman Amanda Feilding yang merekam proses bedahnya sendiri di dalam suatu dokumen berjudul Heartbeat in the Brain.
Peralatan bedah
Dalam beberapa praktek medis kuno, jika suatu pasien menderita sakit kepala karena tumor, dokter akan menggunakan alat untuk mengetuk bagian-bagian kepala tertentu. Ketika orang itu mengeluh kesakitan, praktisi medis akan merasa yakin bahwa tumor telah ditemukan.
Kemudian operasi itu dilaksanakan memberi pasien anestetik primitif. Spesialis akan memotong kulit kepala lalu meretakkan tulang dengan alat bedah sederhana dan berhati-hati agar tidak membuat kerusakan pada otak pasien.
Bagaimana mereka memotong dan mengambil bagian tulang adalah suatu misteri, karena tengkorak terbukti tidak gampang dilubangi.
Begitu operasi selesai dilakukan (mungkin di bawah kondisi sangat steril), lapisan kulit lembut akan dijahit kembali. Sepanjang tidak ada implan modern, bagian tengkorak yang retak tidak bisa disisipkan kembali, dan akhirnya kulit baru akan tumbuh di atas lubang.
Inca kuno mempunyai pisau yang disebut tumi untuk melakukan prosedur pembedahan. Bentuk tumi yang sekarang banyak digunakan sebagai lencana itu, diadopsi dari Akademi Pembedahan Peru, memegang peranan yang tinggi sebagai satu bagian penting dari kebudayaan Inca kuno, dan digunakan secara ekstensif untuk mempromosikan turisme di Peru.
Fitur mata pisau yang sukar dimengerti oleh seorang manusia dengan satu hiasan kepala yang rumit, berdiri di puncak menyerupai suatu pisau berbentuk sekop. Obyek sakral ini mempunyai suatu sejarah bahwa bahkan mendahului peradaban Inca. Pada 2006, 12 tumi ditemukan dalam satu kompleks pemakaman pra-Inca kuno di Peru.
Hippocrates mengusulkan pembedahan tengkorak bagi luka-luka di kepala, dan Yunani kuno mempunyai beberapa peralatan untuk melaksanakan prosedur tersebut. Salah satunya adalah terebra berbentuk 't ', yang cara kerjanya hampir menyerupai alat bor primitif.
Sementara peradaban Mesir kuno dapat bangga dengan peralatan medisnya yang relatif maju. Para peneliti percaya bahwa mereka melakukan pembedahan otak dengan sebuah palu dan pahat.
Sebuah fakta yang menarik untuk dicatat dalam prosedur peradaban Mesir kuno adalah terdapatnya seorang yang berfungsi sebagai 'hemostatic' (agen yang berfungsi untuk menghentikan pendarahan). Pengobatan spesialis kuno ini memiliki kekuatan yang diduga dapat menghentikan pendarahan dengan menghadirkannya di dalam ruang operasi.
Bedah medis ini telah berkembang lebih dari 10.000 tahun, jauh melampaui prosedur pengobatan standar modern. Akan tetapi sebagian besar komunitas medis dengan tegas mengeluarkan larangan terhadap keinginan kuat pembedahan yang dianggap tidak perlu, dikarenakan dapat terjadi beberapa resiko kematian.
Meskipun euphoria tuntutan pembedahan jaman sekarang mendukung permintaan tegas atas hasil penembusan tengkorak, banyak profesional medis memperhitungkan bahwa manfaat yang telah diperhitungkan tidak mungkin terjadi dan memiliki resiko yang tak berarti.
Jadi bagaimanakah asal mula pembedahan medis dan siapakah dokter bedah pertama? Apakah begitu banyak orang jaman kuno benar-benar mencari cara pengobatan untuk meredakan sakit kepala yang hebat, atau apakah susunan spesimen penting yang ditemukan di seluruh dunia tersebut mengatakan bahwa nenek moyang kita memiliki motivasi lain untuk dapat melalui resiko operasi tersebut? (rob)
Sumber :
Leonardo Vintini
http://erabaru.net/sejarah/56-sejarah/3891-bedah-medis-kuno
19 Agustus 2009
Tetapi hal yang terlihat sebagai prestasi paling berani dalam pengobatan modern, anehnya adalah prosedur yang juga sudah dipergunakan dalam sejarah kuno. Pembedahan - suatu praktek membuka atau membuat lubang pada tengkorak - ini adalah praktek yang sudah dilakukan orang-orang di seluruh dunia selama ribuan tahun.
Tengkorak-tengkorak yang pernah dibedah telah ditemukan di beberapa daerah berbeda di dunia, termasuk dalam 'Dunia Baru' sisa dari kultur pra-Colombia, dimulai dari penemuan spesimen Peru pada 1863.
Contoh lain adalah penemuan tengkorak dengan bekas bedah ganda berumur 5000 tahun di Prancis dari periode Neolithic (Jaman Batu Baru). Bukti keberhasilan bedah tengkorak ini sangat jelas dan individu itu terus hidup setelah menjalani operasi kronis tersebut.
Melihat sejarah yang lebih tua, lebih banyak bukti praktek pembedahan juga ditemukan dari periode Mesolithic (Jaman Batu Pertengahan), antara 10.000 dan 5.000 tahun lampau. Tengkorak bekas bedah yang paling tua ditemukan di Ukraina pada 1966, dan tengkorak itu berumur 8.020 dan 7.620 tahun - yaitu dari jaman ketika kebanyakan ahli arkeologi percaya bahwa manusia baru saja pindah dari tinggal di gua ke rumah.
Lebih dari sekedar pengobatan
Yang pasti, dari tingkat kesulitan prosedur itu bisa disimpulkan suatu derajat ke-trampilan medis yang tinggi, meskipun sebagian ahli antropologi juga menghubungkannya dengan ritual mistik, dilihat dari banyaknya bekas tengkorak bekas bedah yang ditemukan di beberapa tempat. Di Baumes-Chaudes, Prancis, dari 350 tengkorak diperiksa, ditemukan 60 tengkorak yang bekas bedah.
Dengan jumlah tengkorak bekas bedah yang cukup besar, sebagian orang berpikir bahwa ini adalah suatu 'kehormatan' yang diberikan kepada segmen populasi tertentu. Contohnya para Firaun dari Mesir, mereka akan menjalani bedah tengkorak beberapa kali dalam hidup karena suatu kepercayaan agar jiwa mereka akan lebih mudah untuk meninggalkan tubuh-tubuh mereka setelah kematian.
Dewasa ini, para dokter medis menempuh metode yang sulit ini hanya untuk mengurangi tekanan dari tengkorak pasien dan mengeringkan pendarahan, selain itu biasanya tidak ditempuh metode itu mengingat resikonya yang tinggi. Bagaimanapun juga yang berpendapat orang kuno punya pertimbangan selain dari keperluan medis untuk membuka kepala.
Sementara ada beberapa orang menganggap nenek moyang kita menggunakan pembedahan untuk menyembuhkan penyakit mental - bertujuan untuk membebaskan otak pasien dari siksaan hantu dan roh yang merasuk - peneliti lainnya mengatakan pembedahan tengkorak masa lampau adalah suatu cara untuk menawarkan pengalaman spiritual yang sangat menggembirakan. Kepercayaan semacam itu masih berlaku hingga sekarang.
Pada tahun 1962, Orang Belanda Bart Hughes menerbitkan Mechanism of Brainblood volume, mengatakan bahwa dengan melubangi tengkorak, volume otak darah meningkat. Dengan demikian, Hughes percaya individu yang melakukan hal ini dapat meningkatkan kesadaran mereka, dengan suatu kesadaran lebih tinggi mendekati kesadaran seorang anak dengan 'soft spot'nya.
Dengan berdiri diatas kepala atau mengonsumsi tumbuh-tumbuhan yang dapat meningkatkan aliran darah ke otak, kondisi yang serupa dapat dicapai untuk sementara. Tetapi Hughes lebih tertarik dengan kondisi yang lebih permanen dibanding hanya dengan tumbuh-tumbuhan, karena itu dia melakukan prosedur ini pada dirinya sendiri pada 1965.
Beberapa orang juga mengikuti langkah Hughes; contohnya seniman Amanda Feilding yang merekam proses bedahnya sendiri di dalam suatu dokumen berjudul Heartbeat in the Brain.
Peralatan bedah
Dalam beberapa praktek medis kuno, jika suatu pasien menderita sakit kepala karena tumor, dokter akan menggunakan alat untuk mengetuk bagian-bagian kepala tertentu. Ketika orang itu mengeluh kesakitan, praktisi medis akan merasa yakin bahwa tumor telah ditemukan.
Kemudian operasi itu dilaksanakan memberi pasien anestetik primitif. Spesialis akan memotong kulit kepala lalu meretakkan tulang dengan alat bedah sederhana dan berhati-hati agar tidak membuat kerusakan pada otak pasien.
Bagaimana mereka memotong dan mengambil bagian tulang adalah suatu misteri, karena tengkorak terbukti tidak gampang dilubangi.
Begitu operasi selesai dilakukan (mungkin di bawah kondisi sangat steril), lapisan kulit lembut akan dijahit kembali. Sepanjang tidak ada implan modern, bagian tengkorak yang retak tidak bisa disisipkan kembali, dan akhirnya kulit baru akan tumbuh di atas lubang.
Inca kuno mempunyai pisau yang disebut tumi untuk melakukan prosedur pembedahan. Bentuk tumi yang sekarang banyak digunakan sebagai lencana itu, diadopsi dari Akademi Pembedahan Peru, memegang peranan yang tinggi sebagai satu bagian penting dari kebudayaan Inca kuno, dan digunakan secara ekstensif untuk mempromosikan turisme di Peru.
Fitur mata pisau yang sukar dimengerti oleh seorang manusia dengan satu hiasan kepala yang rumit, berdiri di puncak menyerupai suatu pisau berbentuk sekop. Obyek sakral ini mempunyai suatu sejarah bahwa bahkan mendahului peradaban Inca. Pada 2006, 12 tumi ditemukan dalam satu kompleks pemakaman pra-Inca kuno di Peru.
Hippocrates mengusulkan pembedahan tengkorak bagi luka-luka di kepala, dan Yunani kuno mempunyai beberapa peralatan untuk melaksanakan prosedur tersebut. Salah satunya adalah terebra berbentuk 't ', yang cara kerjanya hampir menyerupai alat bor primitif.
Sementara peradaban Mesir kuno dapat bangga dengan peralatan medisnya yang relatif maju. Para peneliti percaya bahwa mereka melakukan pembedahan otak dengan sebuah palu dan pahat.
Sebuah fakta yang menarik untuk dicatat dalam prosedur peradaban Mesir kuno adalah terdapatnya seorang yang berfungsi sebagai 'hemostatic' (agen yang berfungsi untuk menghentikan pendarahan). Pengobatan spesialis kuno ini memiliki kekuatan yang diduga dapat menghentikan pendarahan dengan menghadirkannya di dalam ruang operasi.
Bedah medis ini telah berkembang lebih dari 10.000 tahun, jauh melampaui prosedur pengobatan standar modern. Akan tetapi sebagian besar komunitas medis dengan tegas mengeluarkan larangan terhadap keinginan kuat pembedahan yang dianggap tidak perlu, dikarenakan dapat terjadi beberapa resiko kematian.
Meskipun euphoria tuntutan pembedahan jaman sekarang mendukung permintaan tegas atas hasil penembusan tengkorak, banyak profesional medis memperhitungkan bahwa manfaat yang telah diperhitungkan tidak mungkin terjadi dan memiliki resiko yang tak berarti.
Jadi bagaimanakah asal mula pembedahan medis dan siapakah dokter bedah pertama? Apakah begitu banyak orang jaman kuno benar-benar mencari cara pengobatan untuk meredakan sakit kepala yang hebat, atau apakah susunan spesimen penting yang ditemukan di seluruh dunia tersebut mengatakan bahwa nenek moyang kita memiliki motivasi lain untuk dapat melalui resiko operasi tersebut? (rob)
Sumber :
Leonardo Vintini
http://erabaru.net/sejarah/56-sejarah/3891-bedah-medis-kuno
19 Agustus 2009
Bedah Laparoskopi Meluas ke Organ Lain
Kembangan teknologi telah mengantarkan dunia kedokteran, khususnya bedah, kepada efektivitas dan efisiensi. Teknik bedah minimal invasif laparoskopi, misalnya, menjadi alternatif dari bedah konvensional. Awalnya bedah laparoskopi dilakukan untuk bedah digestif (bedah bagian perut dan saluran pencernaan). Namun, kasus penyakit yang paling sering ditangani dengan teknik itu adalah laparoscopic cholecystectomy (pengangkatan kantong empedu) dan laparoscopic appendectomy (pengangkatan usus buntu yang meradang). Selain itu, bedah laparoskopi juga bisa diterapkan untuk kasus perlengketan usus, tumor usus, obesitas, hernia, dan kelenjar getah bening.
Menurut spesialis bedah saluran cerna dr Errawan R Wiradisuria SpB(K)BD, penderita batu pada kantong empedu biasanya datang dengan keluhan dispepsia (mirip sakit mag), yakni perut kembung, sakit pada ulu hati yang menjalar ke punggung, banyak sendawa, dan banyak buang angin. ' pada media edukasi tentang bedah minimal invasif (bedah laparoskopi) di Rumah Sakit Internasional Bintaro Jakarta, beberapa waktu lalu dr Errawan mengatakan, "Karena keluhan yang mirip sakit mag itu, pasien biasanya hanya minum obat mag. Namun jika gejalanya terjadi terus-menerus selama tiga bulan, walaupun sudah minum obat-obatan, biasanya pasien diperiksa lebih jauh dengan USG. Dari situ, baru akan ketahuan apakah ada batu pada kantong empedunya."
Jika ada indikasi untuk operasi, lanjutnya, pasien akan dianjurkan untuk operasi, terutama bila memungkinkan operasi laparoskopi. Pasien pertama-pertama akan dijelaskan mengenai penyakitnya, prosedur pengoperasian, risiko, efek-efeknya, dan keuntungan-keuntungannya. Jika kondisi pasien ternyata tidak memungkinkan untuk dilakukan bedah laparoskopi, prosedur pengoperasian akan dikonversikan ke bedah konvensional. Konversi bisa terjadi karena dua hal. Pertama, karena riwayat penyakit pasien. Kedua, konversi yang tidak diduga yakni terjadi karena keadaan darurat.
Prosedur
Lebih lanjut, dokter yang bertugas di RS Internasional Bintaro itu menjelaskan prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus puasa empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya kempis. Sebelum puasa pun pasien laparoskopi akan diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna. Kemudian pasien akan dibius total. Dr Errawan menjelaskan, ''Setelah pasien tertidur, tindakan operasi pertama yang dilakukan membuat sayatan di bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarum veres disuntikkan untuk memasukkan gas CO2 sampai batas kira-kira 12-14 milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2 itu, perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan menciptakan ruang di dalam perut untuk pengoperasian.''
Setelah perut terisi gas CO2, tambahnya, alat trocar dimasukkan. Alat itu seperti pipa dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat lain selama pembedahan. Ada empat trocar yang dipasang di tubuh. Pertama, terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada (antara dada dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di pertengahan trocar kedua agak ke sebelah kanan (di bawah tulang iga), selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar keempat, bilamana diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5 mm. Dr Errawan dalam menjelaskan tayangan video yang merekam jalannya operasi pengangkatan batu empedu mengatakan, ''Melalui trocar inilah alat-alat, seperti gunting, pisau ultrasonik, dan kamera, dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama berfungsi sebagai 'mata' dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat organ-organ tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera tersebut yang disalurkan ke monitor. Sementara itu, trocar kedua sampai keempat merupakan trocar kerja."
Dalam tayangan video itu pun terlihat bagaimana jarum untuk menjahit organ-organ yang dipotong atau mengalami pendarahan dimasukkan melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari titanium, yang aman dan bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi menyambungkan dua bagian yang terpisah. Dr Errawan menjelaskan, ''Klip dari titanium akan dipasang dalam tubuh secara permanen, seumur hidup. Sebelumnya, kita harus mengatakan kepada pasien dan keluarganya kalau ada benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien." Dia menambahkan, "Bahkan bekas sobekan tersebut, tidak perlu dijahit, dan hanya menggunakan lem yang disebut human skin glue. Masa pulihnya pun lebih cepat, yaitu sekitar tiga hari, pasien sudah diperbolehkan pulang."
Resiko
Menurut dr Errawan, operasi laparoskopi, biasanya berlangsung sekitar 20 menit sampai dua jam, tergantung tingkat kesulitan tiap orang. Adapun risiko yang mungkin terjadi ketika operasi berlangsung adalah perlengketan akibat infeksi yang berulang. Infeksi bisa disebabkan pengobatan yang tidak tuntas sebelum operasi. Sementara itu, perlengketan berarti organ-organ yang menempel harus dipisahkan dan itu bisa mengakibatkan perdarahan. 'Resiko ini bisa berasal dari tiga pihak. Pertama pihak pasien yaitu adanya penyakit atau infeksi yang tidak ditangani secepatnya. Kedua dari pihak dokter yaitu kemampuannya menguasai teknik laparoskopi. Ketiga, faktor alat-alat, termasuk rumah sakit, apakah alat-alat itu sudah rusak atau lama. Di hadapan para wartawan, dr Errawan mengatakan bedah laparoskopi sebetulnya sudah ada di Indonesia sejak 1991. Pembedahan pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo. Hingga saat ini, perkembangan alat-alat laparoskopi semakin maju, meliputi penggunaan monitor high definition yang membuat gambar tampak lebih jelas. Ada pula lampu kamera yang terang, tapi tidak panas. Alat pemotong yang digunakan adalah gunting atau pisau ultrasonik yang jika digunakan tidak akan menyebabkan perdarahan.
Dr Errawan menyebutkan, soal biaya, prosedur laparoskopi memang lebih mahal daripada bedah konvensional yakni bisa mencapai tiga kali lipat dari biaya bedah konvensional. Hal itu disebabkan teknologi dan alat-alat yang digunakan sudah lebih canggih dan hanya sekali pakai. Dia menguraikan, ''Namun jika dihitung secara keseluruhan sampai biaya perawatan pascaoperasi, biaya yang dikeluarkan hampir sama. Perawatan pascabedah laparoskopi hanya dua sampai tiga hari, sedangkan pada bedah konvensional perawatan penyembuhan pascaoperasi bisa mencapai lima hari sampai seminggu. Ini yang membuat bedah laparoskopi lebih efektif." Namun, kata dr Errawan, belum semua dokter bedah saluran cerna bisa melakukan prosedur bedah minimal invasif. Bahkan para dokter bedah harus mengikuti pelatihan khusus untuk bisa melakukan bedah laparoskopi. Hingga saat ini, sudah ada sekitar 80 dokter yang sudah bisa melakukan bedah laparoskopi di Indonesia, sedangkan di Jakarta ada sekitar 40 dokter yang sudah bisa menangani operasi itu. (Kompas.com)
Sumber :
Kompas.com, dalam :
http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&task=view&id=1105&Itemid=59
9 Februari 2008
Menurut spesialis bedah saluran cerna dr Errawan R Wiradisuria SpB(K)BD, penderita batu pada kantong empedu biasanya datang dengan keluhan dispepsia (mirip sakit mag), yakni perut kembung, sakit pada ulu hati yang menjalar ke punggung, banyak sendawa, dan banyak buang angin. ' pada media edukasi tentang bedah minimal invasif (bedah laparoskopi) di Rumah Sakit Internasional Bintaro Jakarta, beberapa waktu lalu dr Errawan mengatakan, "Karena keluhan yang mirip sakit mag itu, pasien biasanya hanya minum obat mag. Namun jika gejalanya terjadi terus-menerus selama tiga bulan, walaupun sudah minum obat-obatan, biasanya pasien diperiksa lebih jauh dengan USG. Dari situ, baru akan ketahuan apakah ada batu pada kantong empedunya."
Jika ada indikasi untuk operasi, lanjutnya, pasien akan dianjurkan untuk operasi, terutama bila memungkinkan operasi laparoskopi. Pasien pertama-pertama akan dijelaskan mengenai penyakitnya, prosedur pengoperasian, risiko, efek-efeknya, dan keuntungan-keuntungannya. Jika kondisi pasien ternyata tidak memungkinkan untuk dilakukan bedah laparoskopi, prosedur pengoperasian akan dikonversikan ke bedah konvensional. Konversi bisa terjadi karena dua hal. Pertama, karena riwayat penyakit pasien. Kedua, konversi yang tidak diduga yakni terjadi karena keadaan darurat.
Prosedur
Lebih lanjut, dokter yang bertugas di RS Internasional Bintaro itu menjelaskan prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus puasa empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya kempis. Sebelum puasa pun pasien laparoskopi akan diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna. Kemudian pasien akan dibius total. Dr Errawan menjelaskan, ''Setelah pasien tertidur, tindakan operasi pertama yang dilakukan membuat sayatan di bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarum veres disuntikkan untuk memasukkan gas CO2 sampai batas kira-kira 12-14 milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2 itu, perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan menciptakan ruang di dalam perut untuk pengoperasian.''
Setelah perut terisi gas CO2, tambahnya, alat trocar dimasukkan. Alat itu seperti pipa dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat lain selama pembedahan. Ada empat trocar yang dipasang di tubuh. Pertama, terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada (antara dada dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di pertengahan trocar kedua agak ke sebelah kanan (di bawah tulang iga), selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar keempat, bilamana diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5 mm. Dr Errawan dalam menjelaskan tayangan video yang merekam jalannya operasi pengangkatan batu empedu mengatakan, ''Melalui trocar inilah alat-alat, seperti gunting, pisau ultrasonik, dan kamera, dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama berfungsi sebagai 'mata' dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat organ-organ tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera tersebut yang disalurkan ke monitor. Sementara itu, trocar kedua sampai keempat merupakan trocar kerja."
Dalam tayangan video itu pun terlihat bagaimana jarum untuk menjahit organ-organ yang dipotong atau mengalami pendarahan dimasukkan melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari titanium, yang aman dan bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi menyambungkan dua bagian yang terpisah. Dr Errawan menjelaskan, ''Klip dari titanium akan dipasang dalam tubuh secara permanen, seumur hidup. Sebelumnya, kita harus mengatakan kepada pasien dan keluarganya kalau ada benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien." Dia menambahkan, "Bahkan bekas sobekan tersebut, tidak perlu dijahit, dan hanya menggunakan lem yang disebut human skin glue. Masa pulihnya pun lebih cepat, yaitu sekitar tiga hari, pasien sudah diperbolehkan pulang."
Resiko
Menurut dr Errawan, operasi laparoskopi, biasanya berlangsung sekitar 20 menit sampai dua jam, tergantung tingkat kesulitan tiap orang. Adapun risiko yang mungkin terjadi ketika operasi berlangsung adalah perlengketan akibat infeksi yang berulang. Infeksi bisa disebabkan pengobatan yang tidak tuntas sebelum operasi. Sementara itu, perlengketan berarti organ-organ yang menempel harus dipisahkan dan itu bisa mengakibatkan perdarahan. 'Resiko ini bisa berasal dari tiga pihak. Pertama pihak pasien yaitu adanya penyakit atau infeksi yang tidak ditangani secepatnya. Kedua dari pihak dokter yaitu kemampuannya menguasai teknik laparoskopi. Ketiga, faktor alat-alat, termasuk rumah sakit, apakah alat-alat itu sudah rusak atau lama. Di hadapan para wartawan, dr Errawan mengatakan bedah laparoskopi sebetulnya sudah ada di Indonesia sejak 1991. Pembedahan pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo. Hingga saat ini, perkembangan alat-alat laparoskopi semakin maju, meliputi penggunaan monitor high definition yang membuat gambar tampak lebih jelas. Ada pula lampu kamera yang terang, tapi tidak panas. Alat pemotong yang digunakan adalah gunting atau pisau ultrasonik yang jika digunakan tidak akan menyebabkan perdarahan.
Dr Errawan menyebutkan, soal biaya, prosedur laparoskopi memang lebih mahal daripada bedah konvensional yakni bisa mencapai tiga kali lipat dari biaya bedah konvensional. Hal itu disebabkan teknologi dan alat-alat yang digunakan sudah lebih canggih dan hanya sekali pakai. Dia menguraikan, ''Namun jika dihitung secara keseluruhan sampai biaya perawatan pascaoperasi, biaya yang dikeluarkan hampir sama. Perawatan pascabedah laparoskopi hanya dua sampai tiga hari, sedangkan pada bedah konvensional perawatan penyembuhan pascaoperasi bisa mencapai lima hari sampai seminggu. Ini yang membuat bedah laparoskopi lebih efektif." Namun, kata dr Errawan, belum semua dokter bedah saluran cerna bisa melakukan prosedur bedah minimal invasif. Bahkan para dokter bedah harus mengikuti pelatihan khusus untuk bisa melakukan bedah laparoskopi. Hingga saat ini, sudah ada sekitar 80 dokter yang sudah bisa melakukan bedah laparoskopi di Indonesia, sedangkan di Jakarta ada sekitar 40 dokter yang sudah bisa menangani operasi itu. (Kompas.com)
Sumber :
Kompas.com, dalam :
http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&task=view&id=1105&Itemid=59
9 Februari 2008
Bedah Robotik, Bedah Kandungan Masa Depan
Dari sejarah awal manusia, operasi memainkan peranan penting dalam manajemen penanganan banyak penyakit. Pada permulaannya, operasi itu kasar, tidak efektif, dan sering mematikan. Peralatan bedah mentah yang terungkap dari banyak situs arkeologi yang di dunia menunjukkan bahwa nenek moyang kita yang dulu berupaya dalam penanganan penyakit menggunakan instrumen pemotong yang tajam.
Pengetahuan mereka tentang anatomi manusia, proses penyakit, dan fisiologi pun sangat terbatas. Jadi, pada waktu itu, landasan perawatan terhadap banyak penyakit tidak akurat dan tidak efektif.
Bedah invasif minimal
Sementara operasi yang sekarang adalah normal untuk kebanyakan prosedur bedah, proses pemulihan justru sering menyakitkan, melumpuhkan, dan berlarut-larut. Operasi terbuka untuk mengeluarkan rahim, usus buntu, atau kantong empedu sering dilakukan melalui sayatan yang besar di perut.
Pendekatan ini adalah satu-satunya cara hingga akhirnya kehadiran kamera kecil dan instrumen sempit panjang dapat dimasukkan melalui lubang kecil yang dibuat di tubuh pasien. Sejak saat itu, operasi invasif minimal atau terobosan baru operasi telah tiba.
Ahli bedah bisa mengintip ke dalam rongga internal organ tubuh melalui lubang buatan yang kecil atau lubang alami. Dengan pengembangan yang berkelanjutan di instrumen bedah, dokter bedah tidak hanya secara visual mendiagnosis penyakit, tetapi juga benar-benar dapat memulai untuk memanipulasi dan melakukan operasi pada jaringan penyakit.
Sistem bedah Da Vinci
Lalu hadirlah sistem pembedahan da Vinci. Ini adalah operasi ginekologi masa depan. Sistem ini terdiri dari tiga komponen: konsol dokter bedah, kereta pasien serta sistem pandangan 3D dan kumpulan sistem visual 3D. Dokter bedah duduk di konsol beberapa meter dari pasien dan melihat ke dalam lensa mata serta memvisualisasikan daerah operasi dengan visi 3-D immersive.
Tangan dokter bedah diposisikan secara tepat di depan pandangan mata sejajar tangan yang akan memulai operasi. Dokter bedah mengoperasikan pengontrol yang menggerakkan instrumen operasi yang berada di kereta pasien. Ujung-ujung alat operasi bergerak dengan tepat dan akurat tanpa getaran di dalam perut dan panggul pasien karena bagian ujung instrumen ini dapat memutar bebas hingga 7 derajat dan dapat menyimulasikan gerakan tangan dokter dengan baik.
Keunggulan utama pembedahan ini adalah presisi, hanya hilang sedikit darah, penurunan tingkat komplikasi, dan mengurangi nyeri pasca-operasi. Hal ini menghasilkan operasi yang lebih baik, rawat inap yang lebih pendek, dan pemulihan lebih cepat. Untuk kasus operasi histerektomi (pengangkatan rahim) dan myomectomy (pengangkatan miom), kebanyakan pasien akan pulang dari rumah sakit keesokan harinya. Pada akhir periode dua minggu, mereka akan kembali pada kegiatan sehari-hari.
Sistem da Vinci bermanfaat dalam disiplin lain, seperti bedah urologi, bedah katup jantung, telinga, bedah hidung dan tenggorokan, bedah umum, dan bedah usus. Dalam ginekologi, ini digunakan untuk histerektomi yang melibatkan kanker dan tumor jinak rahim, pemulihan tuba yang terhambat, dan pembedahan prolaps organ panggul. ©FlyFreeForHealth2010
Dr Kenneth CK Leong adalah dokter bedah kandungan robotik, spesialis bayi tabung dan ketidaksuburan di Melbourne Victoria, Australia.
Sumber :
Dr Kenneth CK Leong
http://health.kompas.com/index.php/read/2010/08/16/09464598/Bedah.Robotik..Bedah.Kandungan.Masa.Depan-12
16 Agustus 2010
Pengetahuan mereka tentang anatomi manusia, proses penyakit, dan fisiologi pun sangat terbatas. Jadi, pada waktu itu, landasan perawatan terhadap banyak penyakit tidak akurat dan tidak efektif.
Bedah invasif minimal
Sementara operasi yang sekarang adalah normal untuk kebanyakan prosedur bedah, proses pemulihan justru sering menyakitkan, melumpuhkan, dan berlarut-larut. Operasi terbuka untuk mengeluarkan rahim, usus buntu, atau kantong empedu sering dilakukan melalui sayatan yang besar di perut.
Pendekatan ini adalah satu-satunya cara hingga akhirnya kehadiran kamera kecil dan instrumen sempit panjang dapat dimasukkan melalui lubang kecil yang dibuat di tubuh pasien. Sejak saat itu, operasi invasif minimal atau terobosan baru operasi telah tiba.
Ahli bedah bisa mengintip ke dalam rongga internal organ tubuh melalui lubang buatan yang kecil atau lubang alami. Dengan pengembangan yang berkelanjutan di instrumen bedah, dokter bedah tidak hanya secara visual mendiagnosis penyakit, tetapi juga benar-benar dapat memulai untuk memanipulasi dan melakukan operasi pada jaringan penyakit.
Sistem bedah Da Vinci
Lalu hadirlah sistem pembedahan da Vinci. Ini adalah operasi ginekologi masa depan. Sistem ini terdiri dari tiga komponen: konsol dokter bedah, kereta pasien serta sistem pandangan 3D dan kumpulan sistem visual 3D. Dokter bedah duduk di konsol beberapa meter dari pasien dan melihat ke dalam lensa mata serta memvisualisasikan daerah operasi dengan visi 3-D immersive.
Tangan dokter bedah diposisikan secara tepat di depan pandangan mata sejajar tangan yang akan memulai operasi. Dokter bedah mengoperasikan pengontrol yang menggerakkan instrumen operasi yang berada di kereta pasien. Ujung-ujung alat operasi bergerak dengan tepat dan akurat tanpa getaran di dalam perut dan panggul pasien karena bagian ujung instrumen ini dapat memutar bebas hingga 7 derajat dan dapat menyimulasikan gerakan tangan dokter dengan baik.
Keunggulan utama pembedahan ini adalah presisi, hanya hilang sedikit darah, penurunan tingkat komplikasi, dan mengurangi nyeri pasca-operasi. Hal ini menghasilkan operasi yang lebih baik, rawat inap yang lebih pendek, dan pemulihan lebih cepat. Untuk kasus operasi histerektomi (pengangkatan rahim) dan myomectomy (pengangkatan miom), kebanyakan pasien akan pulang dari rumah sakit keesokan harinya. Pada akhir periode dua minggu, mereka akan kembali pada kegiatan sehari-hari.
Sistem da Vinci bermanfaat dalam disiplin lain, seperti bedah urologi, bedah katup jantung, telinga, bedah hidung dan tenggorokan, bedah umum, dan bedah usus. Dalam ginekologi, ini digunakan untuk histerektomi yang melibatkan kanker dan tumor jinak rahim, pemulihan tuba yang terhambat, dan pembedahan prolaps organ panggul. ©FlyFreeForHealth2010
Dr Kenneth CK Leong adalah dokter bedah kandungan robotik, spesialis bayi tabung dan ketidaksuburan di Melbourne Victoria, Australia.
Sumber :
Dr Kenneth CK Leong
http://health.kompas.com/index.php/read/2010/08/16/09464598/Bedah.Robotik..Bedah.Kandungan.Masa.Depan-12
16 Agustus 2010
Bedah Plastik: Dipuja atau dicela?
Wanita mana yang tak suka tampil cantik dan menarik? Maklum, perasaan cantik itu memberi efek percaya diri besar yang berujung pada keberhasilan dan kebahagiaan seseorang. Sebaliknya, wanita yang merasa tak cantik, identik dengan rasa percaya diri yang rendah. Ujung-ujungnya, ia pun merasa tidak nyaman menjalankan aktivitas.
Masalahnya, tak semua orang puas dengan bentuk tubuh dan wajah mereka. Ada yang merasa hidungnya terlalu besar, pipi terlalu tembam, telinga kurang lebar atau payudara terlalu kecil. Berbagai cara dan upaya pun kerap dijajal demi mendapatkan bentuk tubuh dan wajah sesuai keinginan. Operasi plastik, suntik silikon, suntik botox hingga minum aneka jamu pelangsing pun dilakoni dengan mendapat tubuh dan wajah ideal.
Coba dengar keluhan seorang rekan, yang enggan namanya disebut ini. Wajah wanita berusia 28 tahun ini sebenarnya cukup proporsional, namun ia mengaku kurang puas dengan bentuk hidung yang dirasa terlalu pesek. “Tahu tempat memancungkan hidung yang murah tapi aman tidak?” katanya suatu ketika.
Ia mengaku sudah sempat berburu klinik kecantikan yang menawarkan jasa memperbaiki bentuk hidung, mulai dari Jakarta hingga Surabaya. Namun harga jasa pelayanan yang terlalu mahal membuatnya urung memermak hidung. “Hidungku terlalu pesek kurang sesuai dengan pipi dan mata. Belum lagi kalau pakai kacamata selalu melorot karena tak punya batang hidung,” lanjut dia setengah bergurau.
Hingga kini, operasi plastik sebagai metode memperbaiki bentuk wajah dan tubuh dinilai sebagai cara teraman dengan hasil yang cukup memuaskan. Namun, yang jadi persoalan adalah tak semua dokter memiliki lisensi dan kompetensi untuk melakukan bedah plastik. Tak heran harga yang dipatok untuk sebuah bedah plastik estetika pun cukup mahal, selalu bertengger pada kisaran jutaan rupiah. Alhasil, bedah plastik pun hanya bisa dijalani oleh orang-orang berkantung tebal.
Saat sebagian orang memuja bedah plastik sebagai penyelamat kecantikan, sebagian kalangan lain malah menghujat praktik bedah plastik lantaran dinilai menyalahi takdir Tuhan. Bedah plastik pun seperti terombang-ambing, antara dipuja dan dicela.
“Tak banyak orang yang tahu bahwa bedah plastik lebih banyak dilakukan untuk merekonstruksi bagian tubuh yang memiliki bentuk dan fungsi tidak normal. Jadi bedah plastik bukan semata-mata mengubah bentuk bagian tubuh, tapi juga memperbaiki agar bisa berfungsi sempurna,” kata Ketua Perhimpunan Ahli Bedah Plastik (PERAPI) Jawa Tengah, dr Amru Sungkar SpBP.
Secara umum bedah plastik terbagi dua yaitu bedah plastik rekonstruksi dan bedah plastik estetika. Bedah rekonstruksi, merupakan bedah plastik yang ditujukan untuk memperbaiki pasien yang mengalami bentuk dan fungsi bagian tubuh yang tidak normal, seperti kerusakan akibat luka bakar, atau bibir sumbing.
“Luka bakar biasanya membuat pasien tak leluasa bergerak, ada pula yang sulit bernapas karena lubang hidungnya terhalang kulit yang meleleh akibat luka bakar,” lanjut ahli bedah plastik yang berpraktik di RS Kasih Ibu dan RS Moewardi ini.
Bedah estetik
Sementara itu, praktik bedah plastik estetika ditujukan untuk mengubah bentuk bagian tubuh yang sebetulnya normal ditilik dari sisi fungsi dan antropologi. Misalnya saja, kata Amru, di Indonesia, seseorang berhidung pesek adalah hal yang lumrah karena sebagian orang Indonesia juga berhidung pesek. Hidung pesek jadi dirasa kurang normal bila yang bersangkutan berada di lingkungan orang kulit putih yang rata-rata berhidung mancung.
Sebenarnya, dari total kasus bedah plastik di Indonesia, sekitar 85 % merupakan bedah rekonstruksi. Hanya 15 % di antaranya yang masuk kategori praktik bedah estetika. Sayangnya, 15 % kasus ini justru lebih banyak terekspose sehingga banyak orang mengasosiasikan bedah plastik sebagai bedah estetika.
Bedah plastik mungkin pantas disebut sebagai ilmu yang revolusioner. Pasalnya, hampir seluruh bagian tubuh bisa dipermak dengan teknik ini, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kebotakan, perbaikan wajah, payudara, sedot lemak, mempersempit vagina hingga perbaikan kuku jempol kaki pun bisa diselesaikan dengan bedah plastik. Di Indonesia, sedot lemak dan face lift untuk menghilangkan kerutan merupakan jenis bedah yang paling diminati. Mekanismenya pun tak terlalu rumit, tak jauh beda dengan prosedur kebanyakan operasi lain.
Mula-mula, dokter menentukan derajat kelebihan lemak pasien sebelum memutuskan tindakan operasi. Derajat kelebihan lemak dibagi menjadi empat. Derajat pertama, kelebihan lemak di area dibagian bawah pusar. Derajat kedua meliputi kelebihan lemak dan kulit di area yang sama. Derajat ketiga, kelebihan lemak dan kulit ditambah otot dinding perut yang kendur. Sedangkan derajat keempat adalah seluruh permasalahan pada derajat ketiga ditambah payudara yang mengendur. “Hal ini umumnya terjadi pada wanita yang telah melahirkan dan berusia di atas 40 tahun,” kata Amru.
Sumber :
Esmasari Widyaningtyas
http://www.solopos.com/2010/lifestyle/kesehatan/bedah-plastik-dipuja-atau-dicela-17536
28 Maret 2010
Masalahnya, tak semua orang puas dengan bentuk tubuh dan wajah mereka. Ada yang merasa hidungnya terlalu besar, pipi terlalu tembam, telinga kurang lebar atau payudara terlalu kecil. Berbagai cara dan upaya pun kerap dijajal demi mendapatkan bentuk tubuh dan wajah sesuai keinginan. Operasi plastik, suntik silikon, suntik botox hingga minum aneka jamu pelangsing pun dilakoni dengan mendapat tubuh dan wajah ideal.
Coba dengar keluhan seorang rekan, yang enggan namanya disebut ini. Wajah wanita berusia 28 tahun ini sebenarnya cukup proporsional, namun ia mengaku kurang puas dengan bentuk hidung yang dirasa terlalu pesek. “Tahu tempat memancungkan hidung yang murah tapi aman tidak?” katanya suatu ketika.
Ia mengaku sudah sempat berburu klinik kecantikan yang menawarkan jasa memperbaiki bentuk hidung, mulai dari Jakarta hingga Surabaya. Namun harga jasa pelayanan yang terlalu mahal membuatnya urung memermak hidung. “Hidungku terlalu pesek kurang sesuai dengan pipi dan mata. Belum lagi kalau pakai kacamata selalu melorot karena tak punya batang hidung,” lanjut dia setengah bergurau.
Hingga kini, operasi plastik sebagai metode memperbaiki bentuk wajah dan tubuh dinilai sebagai cara teraman dengan hasil yang cukup memuaskan. Namun, yang jadi persoalan adalah tak semua dokter memiliki lisensi dan kompetensi untuk melakukan bedah plastik. Tak heran harga yang dipatok untuk sebuah bedah plastik estetika pun cukup mahal, selalu bertengger pada kisaran jutaan rupiah. Alhasil, bedah plastik pun hanya bisa dijalani oleh orang-orang berkantung tebal.
Saat sebagian orang memuja bedah plastik sebagai penyelamat kecantikan, sebagian kalangan lain malah menghujat praktik bedah plastik lantaran dinilai menyalahi takdir Tuhan. Bedah plastik pun seperti terombang-ambing, antara dipuja dan dicela.
“Tak banyak orang yang tahu bahwa bedah plastik lebih banyak dilakukan untuk merekonstruksi bagian tubuh yang memiliki bentuk dan fungsi tidak normal. Jadi bedah plastik bukan semata-mata mengubah bentuk bagian tubuh, tapi juga memperbaiki agar bisa berfungsi sempurna,” kata Ketua Perhimpunan Ahli Bedah Plastik (PERAPI) Jawa Tengah, dr Amru Sungkar SpBP.
Secara umum bedah plastik terbagi dua yaitu bedah plastik rekonstruksi dan bedah plastik estetika. Bedah rekonstruksi, merupakan bedah plastik yang ditujukan untuk memperbaiki pasien yang mengalami bentuk dan fungsi bagian tubuh yang tidak normal, seperti kerusakan akibat luka bakar, atau bibir sumbing.
“Luka bakar biasanya membuat pasien tak leluasa bergerak, ada pula yang sulit bernapas karena lubang hidungnya terhalang kulit yang meleleh akibat luka bakar,” lanjut ahli bedah plastik yang berpraktik di RS Kasih Ibu dan RS Moewardi ini.
Bedah estetik
Sementara itu, praktik bedah plastik estetika ditujukan untuk mengubah bentuk bagian tubuh yang sebetulnya normal ditilik dari sisi fungsi dan antropologi. Misalnya saja, kata Amru, di Indonesia, seseorang berhidung pesek adalah hal yang lumrah karena sebagian orang Indonesia juga berhidung pesek. Hidung pesek jadi dirasa kurang normal bila yang bersangkutan berada di lingkungan orang kulit putih yang rata-rata berhidung mancung.
Sebenarnya, dari total kasus bedah plastik di Indonesia, sekitar 85 % merupakan bedah rekonstruksi. Hanya 15 % di antaranya yang masuk kategori praktik bedah estetika. Sayangnya, 15 % kasus ini justru lebih banyak terekspose sehingga banyak orang mengasosiasikan bedah plastik sebagai bedah estetika.
Bedah plastik mungkin pantas disebut sebagai ilmu yang revolusioner. Pasalnya, hampir seluruh bagian tubuh bisa dipermak dengan teknik ini, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kebotakan, perbaikan wajah, payudara, sedot lemak, mempersempit vagina hingga perbaikan kuku jempol kaki pun bisa diselesaikan dengan bedah plastik. Di Indonesia, sedot lemak dan face lift untuk menghilangkan kerutan merupakan jenis bedah yang paling diminati. Mekanismenya pun tak terlalu rumit, tak jauh beda dengan prosedur kebanyakan operasi lain.
Mula-mula, dokter menentukan derajat kelebihan lemak pasien sebelum memutuskan tindakan operasi. Derajat kelebihan lemak dibagi menjadi empat. Derajat pertama, kelebihan lemak di area dibagian bawah pusar. Derajat kedua meliputi kelebihan lemak dan kulit di area yang sama. Derajat ketiga, kelebihan lemak dan kulit ditambah otot dinding perut yang kendur. Sedangkan derajat keempat adalah seluruh permasalahan pada derajat ketiga ditambah payudara yang mengendur. “Hal ini umumnya terjadi pada wanita yang telah melahirkan dan berusia di atas 40 tahun,” kata Amru.
Sumber :
Esmasari Widyaningtyas
http://www.solopos.com/2010/lifestyle/kesehatan/bedah-plastik-dipuja-atau-dicela-17536
28 Maret 2010
Langganan:
Postingan (Atom)