Bedah plastik yang makin berkembang dan menjadi tren di sebagian masyarakat Indonesia, ternyata tidak diikuti dengan pemahaman yang cukup tentang fungsi bedah plastik itu sendiri.
Sejak operasi face off Siti Nurjazilah alias Lisa, yang dilakukan RSUD dr. Soetomo, nama bedah plastic makin trend di kalangan wanita, maupun pria. Biasanya mereka datang dengan keluhan kantung mata, meminta liposuction atau sedot lemak, dan membuat kantong mata.
Seperti yang ditegaskan oleh dr Djoned Sananto SpBP, Spesialis Bedah Plastik Estetik dan Rekonstruksi RS Siloam Gleneageles (Budi Mulia) Surabaya, sebelum seminar pada Minggu (14/5) besok, operasi bedah plastik bukanlah sulap.
“Jangan mengharapkan hasil yang sekejap dan perubahan drastis setelah operasi. Kebanyakan pasien menginginkan hasil yang instan. Tak sedikit pula yang menginginkan perubahan drastis bagian tubuhnya melalui operasi bedah plastik.
Padahal semua sudah ada porsinya. Itu pemahaman yang harus diluruskan. Selain itu, yang dulunya orang hanya ingin membuat hidung mancung dan membuat lipatan mata, bagi mata sipit, tapi sekarang lebih mengarah ke sedot lemak, dan membuat kantong mata,” kata Djoned Sananto panjang lebar.
Pasien yang datang pun beragam, tidak hanya wanita, tapi juga pria. Pihaknya mengasumsikan dalam seminggu, mampu menangani lima hingga sepuluh pasien. Mereka rata-rata berumur 40 tahun keatas, didominasi kalangan menengah atas.
Namun, ada pula pasien yang datang berusia 21 tahun. Pasien yang meminta jasa bedah plastik pun, umumnya disamping karena ingin mempercantik atau estetika, juga karena luka atau lazim disebut rekonstruksi.
Selain bukan sulap, sambung Djoned, operasi bedah plastik harus dilakukan oleh yang benar-benar ahlinya, tidak bisa sembarangan praktisi kecantikan yang sebenarnya tidak menguasai bidang bedah plastik, meski hanya bedah plastik estetik ringan. Sementara kondisi yang ada, tidak banyak salon kecantikan di Indonesia, khususnya di Surabaya, yang juga menyediakan dokter ahli bedah plastik.
“Harus ada pengawasan dari dokter ahli. Sebab tindakan ringan sekalipun jika tidak dilakukan sesuai prosedur, tetap beresiko. Di Brazil yang sangat terkenal dengan teknologi bedah plastiknya, sudah ada UU yang mengatur dengan tegas soal tindakan bedah plastik tapi di sini belum ada,” tegas Djoned.
Sedot lemak, kata dia, juga punya batasan, yaitu lemak yang diambil harus enam kilogram, dalam setiap kali sedot, karena bila tidak, akan terjadi perdarahan, ataupun hal lain yang membahayakan nyawa pasien. Itupun, lanjut dia, jaraknya harus tiga hingga enam bulan dari sedot lemak berikutnya.
Pergeseran ini, kata dia, terjadi karena wawasan masyarakat terhadap bedah plastik semakin tinggi. Meski masih saja ada masyarakat yang masih bingung dan malu bertanya kemana mendapatkan informasi bedah plastik.
“Untuk itu, kita secara rutin mensosialisasikan bedah plastik pada masyarakat. Bedah plastik bukan lagi sesuatu yang ekslusif, mudah dicapai asal pasien tetap realistik. Soal tarifnya relatif dan Siloam Hospital mempunyai tarif paket bedah plastik tersendiri,”ujarnya.
Namun, meski menjadi trend, untuk dijadikan lahan bisnis, masih terasa sulit. Pasalnya, dokter lebih mengutamakan kebutuhan pasien dibandingkan penghargaan terhadap jasa yang diberikan.
Seperti yang diungkapkan mengatakan, bahwa memilih bedah plastic, bukan ditujukan pada bisnis jasa, tapi bagaimana menolong pasien, agar lebih percaya diri dan menutupi kekurangan yang dirasakan pasien.
Hal senada juga diungkapkan dr.Tjandra Purnawan, SpBP, bahwa lebih mengutamakan profesionalisme. “Biasanya tarif untuk bedah plastic, seperti membuat lipatan mata atau kasus ringan lainnya, antara Indonesia dengan Singapura, bisa dua kali lipat. Lebih murah di Indonesia meski teknik yang digunakan hampir sama. Tapi yang jelas, kita membantu pasien sesuai spesialisasi kita sebagai dokter bedah plastik,”jelasnya.
Menurut Djoned, hal yang perlu diwaspadai dalam bidang bedah plastik antara lain adalah kemunculan keloid. Boleh dikatakan keloid adalah mimpi terburuk dalam dunia bedah plastik. Sebab, kemunculannya sendiri tidak bisa ditebak, dan bisa muncul sesudah tindakan perlukaan kulit.
Sampai saat ini, dunia kedokteran bedah sendiri belum menemukan penyebab pasti adanya keloid. Hanya saja, keloid bisa diminimalisir wilayah penyebarannya dengan suntikan kortiko steroid.
“Dalam keloid sendiri yang perlu diwaspadai adalah adanya zat yang sifatnya seperti kanker disebut oncogene yang bisa berkembang. Jika bekas luka lama terasa nyeri, panas, atau gatal yang mengganggu, sebaiknya perlu diwaspadai sebagai gejala keloid,” jelas Djoned, yang rencananya segera berangkat ke Singapura untuk presentasi penelitian yang dibuatnya tentang keloid.
Sumber :
Suster Icha
http://icha.blogdetik.com/2008/03/15/bedah-plastik-pergeserannya/
15 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar