Sabtu, 21 Agustus 2010

Penderita epilepsi tersebar di seluruh provinsi dan terbanyak di Jabodetabek.
Pernah menyaksikan seseorang yang tanpa sebab tiba-tiba kejang, terjatuh dengan mulut kadang mengeluarkan busa? Kejang yang terjadi pada seseorang yang bukan disebabkan oleh alkohol dan tekanan darah yang sangat rendah dikenal dengan istilah epilepsi. Penyakit yang sering disebut ayan ini, adalah penyakit saraf menahun yang serangannya mendadak dan berulang-ulang.

Pada penderita ayan, fungsi koordinasi otak dalam mengirimkan sinyal perintahnya kadang tidak berjalan dengan baik. Kondisi inilah yang menyebabkan seseorang tiba-tiba kejang. Penyebab epilepsi bisa karena berbagai unsur. Seperti trauma kepala, tumor otak, kerusakan otak saat proses kelahiran, luka kepala, pitam otak

(strok), atau alkohol. Ayan bukan penyakit turunan namun kadang-kadang, ayan bisa disebabkan karena faktor genetika. Untuk mendeteksi gambaran dalam tubuh dan otak seseorang penderita epilepsi, kini dikenal alat yakni Magnetic Resonance Imaging (MRI). Selain itu, bisa juga dites dengan elec-troencephalography (EEG), yakni alat untuk memeriksa gelombang otak.

Bagian bedah saraf RS Dr Kariadi Semarang, Jawa Tengah mencatat, angka prevalensi orang dengan epilepsi (ODE) di Indonesia saat ini, sekitar 0,5 hingga 0,6 persen atau diperkirakan ada 1,5 juta ODE. Ahli bedah saraf, Prof Dr Zainal Muttaqien menjelaskan, bagi ODE dan keluarganya, epilepsi bukan semata persoalan kejang. "Tapi epilepsi adalah rangkaian persoalan medis, psikologis, sosial dan ekonomi yang saling terkait, dan muncul sebagai rasa takut, kesalah-fahaman, stigma sosial, dan diskriminasi yang membawa ODE dan keluarganya hidup dalam dunia yang tertutup," ujar Zainal, dalam penjelasannya soal "Bedah Saraf Terhadap Penderita Epilepsi", beberapa waktu lalu.

Langkah terapi Bagi ODE, pemberian obat untuk mengatasi kejang merupakan salah satu pilihan terapi. Namun, semua obat harus dikonsultasikan terlebih dahulu ke dokter. Selain dengan obat anti epilespi (OAE). Diet khusus juga bisa mengendalikan epilepsi. Menurut Zainal, dengan pemakaian OAE moderen, saat ini sekitar 30 hingga 40 persen penyandang epilepsi tetap saja mengalami serangan kejang (refrakter). Menurutnya, kondisi ini akan berpengaruh buruk pada kapasitas kognisi, mengganggu hubungan sosial, dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup.

Penderita Epilepsi Lobus Temporalis (ELT), yang dulu disebut epilepsi psiko-motor, merupakan bentuk epilepsi yang paling banyak diderita. ELT inilah yang paling sering kebal terhadap obat atau refrakter.

Dengan banyaknya jenis obat baru saat ini, tidak mungkin mencobakan semuanya satu per satu kepada penderita. Pengobatan dianggap gagal dan penderita dinyatakan refrakter, jika dua obat baku dicobakan dengan dosis pengobatan tunggal maupun kombinasi, namun serangan kejang tetap terjadi. "Selain itu, bila MRI memperlihatkan kelainan di lobus temporalis, maka kemungkinan untuk bebas kejang dengan obat (OAE) hanya 16 persen," kata Zainal.

Di antara ODE di Indonesia, sebanyak 440.000 orang akan menjadi refrakter. Zainal mengatakan, sekitar separuhnya atau 220.000.ODE akan membaik bila dilakukan terapi Bedah Epilepsi

Saat ini, kata Zainal, RS Dr Kariadi telah banyak melakukan tindakan bedah jenis ELT. Program bedah epilepsi di rumahsakit ini, mengalami kemajuan selama sepuluh tahun ini untuk menjadi Pusat Rujukan Nasional Bedah Epilepsi.

Dari yang ditangani tim bedah saraf, terbukti penanganan bedah pada ELT memberikan hasil bebas kejang pada 65 persen pasiennya dan sembuh sebanyak 21 persen. Sedangkan pengobatan dengan OAE yang sebaik apa pun hanya mencapai hasil bebas kejang sebanyak 8 persen. "Dari ODE refrakter yang dirujuk ke RS Kariadi untuk bedah epilepsi, 80 persen memperlihatkan adanya kelainan di lobus temporalis, khususnya di hippocampus," ujar Zainal.

Bedah epilepsi diawali dengan pemeriksaan pra-bedah. Pemeriksaan itu ditujukan untuk memastikan sisilobus temporalis yang epileptik atau yang menjadi fokus epilepsi. Dari pengalamannya, pemeriksaan MRI otak dan EEG cukup untuk memastikan sisi epileptik yang harus dioperasi Menurutnya, hampir 8(1 persen kasus dilakukan pembedahan dan hanya 20 persen perlu pemeriksaan penunjang.

Jadi tidak benar kahui bedah epilepsi hanya bisa dimulai setelah kita memiliki semua fasilitas diagnostik yang canggih seperti di negara maju," ujarnya.

Sejak bedah epilepsi pertama dilakukan Juli 1999 sampai Desember 2009, jumlah pasien bedah sebanyak 238 ODE refraktfeE Dan jumlah itu, kasus ELT sebanyak 212 kasus. Sementara dalam perkembangannya, jumlah ODE yang dioperasi tenis meningkat sekitar 35 hingga 47 orang per tahun.

Zainai mengatakan, bedah epilepsi bukan pilihan terakhir bila semua bentuk pengobatan lain telah gagal. "Ada pilihan terbaik untuk jenis-jenis epilepsi tertentu guna mencegah keadaan refrakter yang bisa merusak masa depan," jelas Zainal.

Hasil terbaik bedah epilepsi ini diper-leh pada kasus ELT yang foto MRI nya memperlihatkan adanya kelainan pada satu hippokampusnya. Angka bebaskejang pada kasus ini mencapai lebih dari 90 persen. Karena itu. tindakan bedah epilepsi dianjurkan lebih awal sebelum kondisi refrakter terjadi.

Para ODE refrakter, datang dari hampir seluruh propinsi di tanah air. Tapi kelompok paling banyak, berasal dari wilayah Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek) sekitar 30 persen. Penderita kebanyakan adalah orang-orang berpendidikan seperti SMU (55 persen) tertinggal pendidikan (25 persen), dan sisanya perguruan tinggi.

Fakta tersebut, kata Zainal membuktikan bahwa anggapan penyandang epilepsi tidak atau kurang berpendidikan adalah tidak benar. "Bagi ODE yang cukup berpendidikan, bebas dari serangan kejang setelah pembedahan benar-benarmerupakan hidup baru dan kesempatan untuk berkarir yang bebas dari diskriminasi," ujar Zainal.

Semakin muda usia ODE (kurang dari 25 tahun) yang dibedah, angka bebas kejang lebih tinggi (75,4 persen) dibanding di atas 25 tahun. Sedangkan yang lama sakitnya kurang dari 10 tahun, lebih tinggi angka bebasnya daripada yang di atas 10 tahun (78,72 persen).

Sementara itu, dari 50 juta ODE di seluruh dunia, 90 persen berada di negara-negara berkembang dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Ironisnyan hanya 26 dari 142 negara berkembang yang sudah memiliki program bedah epilepsi. Evaluasi yang sudah dilakukan di India dan Thailand, serta di Indonesia (Semarang) membuktikan bahwa program bedah epilepsi bisa mencapai hasil yang amat baik meskipun dilakukan di negara-negara dengan sumber daya yang terbatas.

"Tidak adanya fasilitas bedah epilepsi menjadi alasan utama kurangnya pemahaman di kalangan tenaga medik, bahkan para dokter, tentang manfaat bedah epilepsi. Kurangnya pengertian serta tidak adanya kesempatan untuk secara langsung bertemu dengan ODE pasca-bedah menimbulkan rasa khawatir dan rasa takut yang berlebihan tentang operasi epilepsi. Hal ini akan berujung pada keengganan untuk merujuk ODE refrakter," tandas Zainal.

Mengingat banyaknya ODE refraksi yang berpeluang sembuh melalui bedah epilepsi, Zainal mengatakan, perlu dibentuk pusat-pusat pelayanan kesehatan rujukan yang mampu memberikan pelayanan ini. Untuk pulau Jawa saja, kata Zainal, setidaknya dibutuhkan lima pusat pelayanan. Sedangkan setiap pulau besar, dibutuhkan juga satu pusat pelayanan.

Sedangkan perangkat yang dibutuhkan adalah rumah sakit dengan fasilitas pelayanan Bedah Saraf Mikro (Micro-neurosurgery). Tentu saja dibutuhkan tenaga spesialis bedah saraf terlatih untuk melaksanakan operasi epilepsi.


Sumber :
Dewi Mardlani
Republika, dalam :
http://bataviase.co.id/node/175331
19 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar